KORAN TIMES – Poligami adalah salah satu topik yang selalu menimbulkan perdebatan, terutama dalam konteks syariah Islam. Dalam Islam, poligami diperbolehkan selama memenuhi syarat utama, yaitu keadilan. Namun, bagaimana definisi keadilan dalam konteks ini? Pertanyaan ini kerap disampaikan oleh para ulama, dan jawabannya sering kali menjadi subjek perdebatan.

Menurut Said Hawa, keadilan adalah menunaikan hak dan kewajiban sesuai dengan perintah Allah. Namun, apakah poligami yang dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama dapat dianggap adil? Kata “adil” dalam konteks ini tidak bisa diterapkan secara kaku, dan pendapat ulama berbeda dalam mengartikannya. Mazhab Syafi’iyah, misalnya, berpendapat bahwa keadilan dalam poligami lebih mudah diterapkan pada aspek material atau lahiriah, karena aspek batin sulit untuk diukur secara obyektif.

Hikmah dan Manfaat Poligami dalam Islam

Secara tradisional, poligami dianggap memiliki beberapa hikmah dalam Islam. Ibnu Asyur, salah seorang ulama besar, menyebutkan beberapa manfaat poligami, di antaranya:

1. Meningkatkan jumlah keturunan dan mempercepat perkembangan umat Islam.

2. Meminimalkan jumlah perempuan yang tidak memiliki pasangan, mengingat populasi perempuan lebih banyak dari laki-laki.

3. Mengurangi potensi terjadinya perzinaan.

4. Mengurangi angka perceraian, asalkan istri pertama rela dimadu.

Namun, apakah manfaat-manfaat ini masih relevan dalam konteks masyarakat modern? Realitas yang terjadi justru sebaliknya. Poligami sering kali menjadi sumber masalah dalam rumah tangga, seperti yang terlihat dalam kisah-kisah perempuan yang hidup dalam pernikahan poligami.

READ  Ndasmu Etik

Problematika Poligami di Madura

Di Madura, poligami sering kali menjadi bagian dari kehidupan perempuan. Kasus-kasus poligami di wilayah ini tidak jarang dilakukan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan atau restu istri pertama. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi syarat utama poligami dalam Islam. Bahkan, menurut UU KUHP 1/2023, tindakan poligami yang dilakukan tanpa izin istri pertama dapat dikenakan sanksi pidana.

Salah satu kisah yang menggambarkan realitas pahit poligami adalah pengalaman Bu Erika, seorang perempuan paruh baya dari Madura. Selama 20 tahun pernikahannya, Bu Erika harus berjuang sendirian menghidupi tiga anaknya, sementara suaminya, Pak Andre, menikahi perempuan lain secara diam-diam. Meski mengetahui pernikahan suaminya, Bu Erika memilih untuk memaafkan dan tetap menjalani hidupnya.

Namun, bukannya berubah, Pak Andre kembali menikahi perempuan lain delapan tahun kemudian, tanpa sepengetahuan Bu Erika. Meski kecewa, Bu Erika tetap bertahan demi anak-anaknya. Ketulusan dan kesabarannya sungguh mengagumkan, namun apakah ini yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami?

Poligami: Antara Hukum Islam dan Realitas Sosial

Secara hukum Islam, poligami seperti yang dialami Bu Erika masih diperbolehkan asalkan suami mampu memenuhi nafkah lahiriah. Namun, apakah ini cukup? Keadilan lahiriah mungkin bisa dipenuhi, tetapi bagaimana dengan keadilan batiniah dan emosional?

Kisah Bu Erika menunjukkan bahwa hikmah poligami yang diutarakan oleh ulama klasik menjadi kurang relevan dalam konteks sosial saat ini. Poligami sering kali menjadi sumber penderitaan emosional bagi istri pertama, yang harus menerima kenyataan bahwa suaminya berbagi hidup dengan perempuan lain. Ini tentu jauh dari prinsip keadilan yang diajarkan Islam.

READ  Ketersediaan Pangan di Indonesia: Apakah Benar-Benar Aman?

Sebagai penutup, poligami dalam Islam mungkin memiliki hikmah yang baik jika dilakukan dengan benar. Namun, dalam realitas masyarakat modern, khususnya di Madura, praktik poligami sering kali menimbulkan masalah baru. Ketulusan dan perjuangan perempuan seperti Bu Erika layak diapresiasi, namun patut dipertanyakan, apakah ini keadilan yang diharapkan oleh syariat?.

 

*) Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times

*) Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

*) Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com.

*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.

Print Friendly, PDF & Email