OPINI, KORAN TIMES – Mengapa beberapa negara tetap miskin meski memiliki sumber daya melimpah, sementara yang lain makmur tanpa kekayaan alam?” pertanyaan ini menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang dan mencoba dipecahkan melalui riset, kajian sejarah dan data oleh Daron Acemoglu melalui buku yang beberapa bulan ini coba saya simak dengan judul “Why Nations Fail”. Menarik bagi saya membaca buku ini karena saya seperti mendapatkan dongeng tentang bagaimana sejarah berbagai bangsa dalam upaya bangun dari sebuah keterpurukan baik karena peperangan, bencana ataupun kondisi alam yang tidak mendukung dari zaman dahulu sampai beberapa dekade terakhir. Lalu mengapa sebuah negara bisa kaya dengan rata rata tingkat pendapatan per kapita warganya sampai 135.320 us dollar per tahun dengan asumsi kurs saat ini setara dengan kurang lebih 2 miliar per tahun, tetapi ada negara yang pendapatan per kapita warganya bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebelum membaca buku ini saya memiliki hipotesis mungkin sama dengan kebanyakan orang yang mengira faktor penentu terbesar mengapa negara berhasil dan gagal adalah faktor geografis.
Salah satu teori yang sering digunakan untuk menjelaskan kesenjangan ekonomi global adalah hipotesis geografi. Teori ini berpendapat bahwa perbedaan dalam kondisi dan lokasi geografis menjadi penyebab utama ketimpangan antara negara kaya dan miskin. Negara-negara miskin, seperti yang terdapat di Afrika, Amerika Tengah, dan Asia Tengah, umumnya berada di sekitar Garis Balik Utara dan Selatan, sedangkan negara kaya cenderung berada di kawasan beriklim sedang. Pola ini menumbuhkan minat terhadap hipotesis geografi, yang sering menjadi dasar teori oleh sejumlah ilmuwan sosial. Meski demikian, teori ini tidak bebas dari kelemahan. Pada akhir abad ke-18, filsuf Prancis Montesquieu mencatat adanya pola geografis dalam distribusi negara kaya dan miskin, yang coba ia jelaskan melalui pengamatan bahwa masyarakat di daerah tropis cenderung malas dan kurang inovatif, yang berujung pada kemiskinan. Ia juga berargumen bahwa sifat malas ini mendorong terbentuknya pemerintahan yang otoriter di negara-negara beriklim tropis, yang semakin memperburuk kondisi ekonomi dan politik mereka.
Walaupun teori ini telah terbukti salah dengan perkembangan pesat yang dialami negara-negara tropis seperti Singapura, Malaysia, dan Botswana, beberapa ahli, termasuk Jeffrey Sachs, masih mempertahankan versi modern dari hipotesis ini. Pandangan saat ini menyoroti faktor-faktor seperti tingginya prevalensi penyakit tropis seperti malaria yang mengurangi produktivitas, serta kesuburan tanah tropis yang dianggap kurang mendukung pertanian. Meskipun argumen-argumen ini terlihat lebih kompleks, kesimpulan utamanya tetap sama: wilayah dengan iklim sedang dianggap lebih unggul dibandingkan kawasan tropis.
Namun, kesenjangan ekonomi dunia tidak dapat dijelaskan hanya melalui aspek iklim, penyakit, atau versi lain dari hipotesis geografi. Sebagai contoh, perbedaan ekonomi di kota Nogales yang terbelah oleh perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko tidak dipengaruhi oleh geografi, melainkan oleh perbedaan institusi di kedua negara. Hal yang sama berlaku untuk perbedaan antara Korea Utara dan Korea Selatan, atau Jerman Timur dan Jerman Barat sebelum runtuhnya Tembok Berlin. Dengan demikian, menggunakan hipotesis geografi untuk menjelaskan kesenjangan ekonomi antara kawasan seperti Amerika Utara dan Amerika Selatan, atau Eropa dan Afrika, adalah pendekatan yang keliru dan tidak lagi relevan.
Teori selanjutnya yang menjadi hipotesis mengapa negara berhasil atau gagal adalah hipotesis kebudayaan. Teori kebudayaan menyatakan bahwa kemakmuran suatu negara ditentukan oleh keyakinan, nilai, dan etika masyarakatnya. Max Weber, seorang sosiolog Jerman, mengemukakan bahwa Reformasi Protestan dan etos kerja Kristen Protestan memicu kemajuan industri di Eropa Barat. Namun, teori ini tidak hanya berfokus pada agama, melainkan juga pada faktor-faktor budaya lainnya. Banyak yang beranggapan bahwa negara-negara Afrika miskin karena kurangnya etos kerja dan ketergantungan pada mistisisme. Sementara itu, Amerika Latin dianggap tidak bisa bangkit dari kemiskinan karena budaya boros dan tidak menghargai waktu. Namun, contoh China menyangkal anggapan ini, karena etos kerja dan nilai-nilai Konfusianisme tidak menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.
Kemiskinan China pada masa Mao Zedong bukan disebabkan oleh budaya, melainkan kekacauan metode ekonomi dan politik. Pertumbuhan ekonomi China saat ini hasil dari reformasi ekonomi yang dipimpin oleh Deng Xiaoping. Hal ini menunjukkan bahwa institusi dan sejarah, bukan kebudayaan, yang menentukan kemajuan suatu negara. Hipotesis kebudayaan gagal menjelaskan perbedaan kemakmuran antarnegara. Contohnya, Amerika Serikat dan Amerika Latin memiliki perbedaan budaya, tetapi perbedaan itu timbul dari institusi politik dan ekonomi. Demikian pula, perbedaan antara Argentina, Chile, Peru dan Bolivia tidak dapat dijelaskan oleh faktor kebudayaan saja.
Teori selanjutnya adalah farktor hipotesis kebodohan. Kesenjangan ekonomi antara negara kaya dan miskin tidak semata-mata disebabkan oleh “kebodohan” para pemimpin dalam mengambil kebijakan, seperti yang diusulkan oleh hipotesis kebodohan. Sebaliknya, faktor politik, insentif institusional, dan pilihan strategis yang disengaja oleh penguasa memegang peran utama. Pengalaman Ghana, misalnya, menunjukkan bahwa keputusan yang tampak “bodoh” sering kali dilakukan demi kepentingan politik tertentu. Hal yang sama terjadi di berbagai negara, di mana para pemimpin lebih mementingkan keuntungan pribadi atau stabilitas politik daripada kesejahteraan rakyatnya. Banyak kebijakan yang diambil oleh para pemimpin-pemimpin pintar dan memiliki kualifikasi Pendidikan bahkan tim terbaik tidak berhasil karena hanya berorientasi pada kepentingan pribadi.
Untuk memahami kesenjangan ekonomi global, tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan ekonomi. Perlu kajian mendalam tentang politik dan proses pengambilan keputusan di balik kebijakan ekonomi yang diambil. Tanpa reformasi politik yang mendasar, seperti yang dilakukan China di bawah Deng Xiaoping, upaya untuk menciptakan kemakmuran hanya akan berakhir pada kebijakan populis yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, solusi atas kesenjangan ekonomi dunia memerlukan sinergi antara ilmu ekonomi dan politik untuk menciptakan institusi yang adil, efektif, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Dari ketiga hipotesis di atas maka dugaan saya selama ini, yang beranggapan bahwa faktor geografis, kebudayaan dan pendidikan merupakan penentu dari berhasi atau tidaknya suatu negara “patah”. Ada faktor lain yang lebih powerfull dan betul-betul merupakan kunci mengapa negara berhasil atau tidak, faktor itu adalah Institusi Ekonomi dan Institusi Politik yang hari ini lebih akrab disebut sebagai “Kelembagaan”.
Institusi politik adalah struktur atau mekanisme dalam suatu masyarakat yang menentukan distribusi kekuasaan dan proses pengambilan keputusan, baik di tingkat pemerintahan maupun dalam pengelolaan masyarakat secara luas. Institusi ini memiliki peran penting dalam membentuk institusi ekonomi, karena keputusan politik yang diambil sering kali memengaruhi kebijakan ekonomi serta distribusi sumber daya. Institusi politik dapat hadir dalam berbagai bentuk, seperti demokrasi, monarki, diktator, atau sistem lainnya, yang masing-masing memiliki cara berbeda dalam mengatur kekuasaan, menyalurkan aspirasi rakyat, dan menentukan kebijakan publik. Institusi ekonomi adalah struktur atau mekanisme yang mengatur cara pengalokasian sumber daya dalam suatu masyarakat, sehingga memastikan kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi secara efisien. Institusi ini memiliki peran krusial dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya yang optimal dan penciptaan insentif bagi aktivitas ekonomi. Contoh institusi ekonomi meliputi sistem perbankan, pasar, dan regulasi ekonomi yang dirancang untuk menjaga stabilitas, mendorong investasi, serta mengatur hubungan antara pelaku ekonomi demi mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Institusi politik yang inklusif cenderung menciptakan institusi ekonomi yang inklusif, dimana sistem ekonomi dirancang untuk mempromosikan keadilan, kesetaraan, dan partisipasi masyarakat, menciptakan insentif untuk inovasi, investasi, dan pertumbuhan ekonomi, menghormati hak-hak properti dan kontrak, demokratis, pasar yang bebas, dan sistem hukum yang adil. Sementara Institusi politik yang ekstraktif cenderung menciptakan institusi ekonomi yang ekstraktif yang dirancang untuk memperkaya elit penguasa dengan mengorbankan mayoritas masyarakat, menciptakan insentif untuk mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja, menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, maraknya pasar monopoli, korupsi, dan penindasan. Interaksi inilah yang mempengaruhi kemajuan dan kegagalan suatu negara.
Kelembagaan akan sangat mempengaruhi bagaimana sumber daya dialokasikan dan bagaimana aturan serta kebijakan dibuat. Institusi politik yang baik dan demokratis cenderung menghasilkan aturan yang fair sehingga sangat efektif dalam menciptakan iklim ekonomi yang ideal dimana mendukung pertumbuhan, inovasi yang tinggi dan cenderung transparan/akuntabel terhadap rakyatnya. Akhirnya kita sampai pada hipotesis bahwa kemajuan ekonomi ternyata bergantung pada kualitas institusi yang mendasarinya, karena institusi akan menentukan iklim dan peluang yang sehat dengan mendorong ekonomi atau sakit dengan menghambat perkembangan ekonomi suatu negara.
Menilik kelembagaan dari beberapa negara
Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan kelembagaan ekonomi yang inklusif, sistem pasar terbuka, kuatnya perlindungan atas hak milik, regulasi yang jelas, serta adanya Lembaga seperti Federal Reserve dan sistem peradilan independent yang menciptakan lingkungan kondusif untuk inovasi. Orang akan sangat yakin untuk berinvestasi di tengah kepastian hukum seperti ini. Institusi politiknya demokratis memungkinkan partisipasi yang luas dalam pengambilan keputusan yang mendorong pembangunan ekonomi jangka Panjang. Negara lain yang menerapkan sistem ekonomi inklusif adalah Jerman dengan sistem pasar sosial yang kuat. Di Jerman tersedia regulasi yang seimbang dan jelas antara perlindungan pekerja dan insentif bagi pebisnis. Institusi Pendidikan vokasi yang terintegrasi dengan dunia kerja, institusi perbankan yang solid dan ramah bagi dunia usaha, dan jerman dikenal dengan negara yang melahirkan kebijakan fiscal yang bijak. Kondisi ini menjadikan Jerman menjadi salah satu negara maju di dunia saat ini dengan tingkat kesejahteraan masayarakat yang tinggi. Kita juga bisa belajar dari Korea Selatan dimana pasca perang Korea, negara ini berhasil membangun institusi ekonomi yang mendorong iklim industrialisasi, perdagangan dan inovasi. Usaha yang dilakukan adalah dengan perencanaan negara yang mensinergikan antara sector swasta dan sector pemerintah. Dengan usaha itu, Korea Selatan saat ini mampu bertranformasi dari negara miskin menjadi negara kaya yang sangat diperhitungkan di kancah perekonomian global.
Kita sering mendengar cerita tentang perekonomian Zimbabwe dimana satu milliar mata uang nya hanya cukup untuk membeli dua butir telur. Dari tahun 2009-2004 inflasi Zimbabwe pernah mencapai angka tertinggi 785.55%. Bisa kita bayangkan seperti apa kacaunya jika dibandingkan dengan kehidupan kita saat ini. Negara ini mengalami kegagalan dalam membangun kelembagaan ekonominya dikarenakan kebijakan yang sangat ekslusif, merajalelanya praktik korupsi, banyak reformasi di bidang agraria yang terkesan insidental tanpa perencanaan, rusaknya sektor pertanian karena eksploitasi dan praktik paksa retribusi lahan yang akhirnya menghancurkan perekonomian negara. Venezuela menjadi negara yang sangat kaya akan sumber daya minyak harus mengalami keruntuhan ekonomi karena kebijakan ekonomi yang buruk akibat lemahnya kelembagaan ekonomi. Keruntuhan institusi ekonomi dan meluasnya kemiskinan Venezuela disebabkan ketatnya control terhadap ekonomi, ketergantungan berlebih pada minyak tanpa diversifikasi ekonomi. Selanjutnya kita menilik Republik Demoratik Kongo, negara yang juga kaya akan sumber daya alam tetapi tetap menjadi negara miskin karena institusi ekonomi yang tidak stabil dan ekslusif. Konggo saat ini masih disibukan dengan konflik bersenjata akibat rasa ketidakpercayaan dan ketidakadilan sistem yang ada, lemahnya perlindungan hak milik dan buruknya sistem hukum. Kondisi ini telah menghalani konggo membangun ekonominya. Dari negara-negara ini ternyata dapat dilihat bahwasanya kesuksesan atau kegagalan suatu negara dalam membangun ekonomi tergantung dengan bagaimana negara memandang pentingnya institusi yang inklusif, akuntabel, transparan dan adanya kepastian regulasi yang adil.
Konteks Indonesia
Pertanyaan berikutnya adalah “apakah Indonesia menerapkan institusi yang inklusif saat ini?”. Agar lebih objektif dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya akan menggunakan beberapa data yang bisa menggambarkan bagaimana posisi Indonesia.
Bank Dunia mengklasifikasikan perekonomian untuk tujuan analisis ke dalam empat kelompok pendapatan: pendapatan rendah, menengah ke bawah, menengah ke atas, dan tinggi. Bank Dunia menggunakan data pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita dalam dolar AS. Dengan indicator ini, Indonesia masuk dalam klasifikasi negara menengah ke atas per juli 2023. Data PDB (nominal) per kapita IMF tahun 2022 menempatkan Indonesia ranking 116 dari 194 negara dengan PDB per kapita 4.691 US Dollar. Ranking 1 ditempati negara Luxemburge dengan PDB per kapita 135.046 US Dollar. Tidak ada yang istimewa dari capaian data ini, Indonesia masuk dalam kategori negara “medioker” dari data ini, bukan negara yang berhasil tetapi juga bukan negara gagal.
Data Democracy Index memberikan gambaran tentang keadaan demokrasi di 165 negara bagian independen dan dua wilayah. Ini mencakup hampir seluruh populasi dunia dan sebagian besar negara bagian dunia (negara mikro tidak termasuk). Dinilai pada skala 0-10, Indeks Demokrasi didasarkan pada lima kategori: proses pemilihan dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Berdasarkan skornya pada berbagai indikator dalam kategori ini, setiap negara diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat jenis rezim: “demokrasi penuh”, “demokrasi cacat”, “rezim hibrida” atau “rezim otoriter”. Indonesia menempati ranking 56 dengan nilai 6.53 mencatatkan Indonesia masuk dalam klasifikasi “demokrasi cacat”.
“Flawed democracy” atau “demokrasi yang cacat” merupakan gambaran dari suatu sistem demokrasi yang masih banyak kelemahan dalam pelaksanaannya, sehingga menghambat berjalannya prinsip-prinsip dasar demokrasi yang ideal. Karakteristik dari demokrasi yang cacat mencakup dominasi kelompok elit dalam mengendalikan kekuasaan politik dan ekonomi, praktik korupsi yang meluas, serta sistem peradilan yang tidak independen karena masih dipengaruhi oleh kekuasaan politik. Selain itu, demokrasi yang cacat juga ditandai dengan pembatasan kebebasan berbicara, berpendapat, dan beragama, serta pelaksanaan pemilihan umum yang tidak bebas, tidak adil, atau tidak transparan. Faktor lain yang memperburuk kondisi ini adalah keterlibatan militer dalam urusan politik dan tingginya kesenjangan sosial serta ekonomi antara kelompok kaya dan miskin, yang pada akhirnya memperlemah fungsi demokrasi sebagai sistem yang inklusif dan adil. Cukup mengejutkan bagi saya karena Indonesia menempati ranking di bawah Timor-Leste, negara yang secara usia masih di bawah kita. Demokrasi yang cacat sering kali disebabkan oleh berbagai faktor yang menghambat berjalannya prinsip-prinsip demokrasi secara ideal. Salah satunya adalah ketergantungan pada praktik nepotisme, di mana sistem politik lebih berorientasi pada hubungan pribadi daripada meritokrasi. Selain itu, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekuasaan memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi negara. Pengaruh kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan politik juga sering mengarah pada kebijakan yang tidak pro-rakyat, melainkan menguntungkan segelintir pihak tertentu.
Indeks Kualitas Regulasi mengukur kemampuan pemerintah dalam merumuskan regulasi yang mendukung pengembangan usaha swasta. Skor indeks ini berkisar dari -2,5 (terburuk) hingga 2,5 (terbaik). Indonesia mencatatkan skor -0,11 pada 2017, yang merupakan bagian dari tren negatif sejak 1996 dengan skor terburuk -0,8 pada 2003. Meskipun mengalami penurunan pada 2008-2010, Indonesia berhasil memperbaiki skornya pada tahun-tahun berikutnya. Indeks Kualitas Regulasi di Indonesia tahun 2008-2017 belum bisa mencapai angka yang positif, kondisi ini mencerminkan bahwa tampaknya kualitas regulasi yang dihasilkan belum merepresentasikan kondisi yang sinergi antara pemerintah dan sektor swasta.
Data berikutnya yang saya ingin ulas adalah data terkait indeks persepsi korupsi (Corruption Perceptions Index). Corruption Perceptions Index (CPI) adalah indeks tahunan yang diterbitkan oleh Transparency International untuk mengukur persepsi tingkat korupsi di berbagai negara. Indeks ini mengevaluasi korupsi di sektor publik, pengaruh uang dalam politik, keterlibatan pejabat publik dalam korupsi, efektivitas lembaga anti-korupsi, serta keterbukaan dan transparansi pemerintah. Penilaian dilakukan melalui survei kepada pakar dan pelaku bisnis, serta analisis data dari sumber terpercaya. Skor CPI berkisar antara 0 hingga 100, dengan skor tinggi menunjukkan korupsi rendah; kategori skor meliputi korupsi sangat tinggi (0-29), tinggi (30-49), sedang (50-69), dan rendah (70-100). CPI bertujuan untuk mengidentifikasi negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi, mendorong pemerintah mengambil langkah anti-korupsi, dan meningkatkan kesadaran publik. Indonseia mendapatkan skor CPI 34 yang berarti masuk dalam kategori negara dengan tingkat korupsi tinggi.
Gambar: CPI Indonesia tahun 2022.
Berdasarkan data di atas, Indonesia memiliki skor 34, yang menempatkannya dalam kategori “korupsi tinggi” (30-49). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memberantas korupsi, terutama di sektor publik dan pengelolaan kebijakan publik. Skor ini mencerminkan masalah seperti kurangnya transparansi dan akuntabilitas, lemahnya penegakan hukum terhadap kasus korupsi, serta pengaruh kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan politik. Dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura (skor 85), Indonesia perlu memperkuat reformasi kelembagaan, meningkatkan efektivitas lembaga anti-korupsi, serta mendorong keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemerintahan.
Kalau kita melihat pemberitaan media saat ini tampaknya pemberantasan korupsi masih menjadi permasalahan tidak teratasi. Mulai dari vonis hakim atas kasus Harvey Moeis yang dirasa tidak sejalan dengan rasa keadilan. Munculnya fenomena di masayarakat media sosial dimana ada keyakinan bahwa “no viral no justice” adalah cerminan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia masih bermasalah. Kondisi ini bukan tanpa alasan dan diperkuat dengan setahun terakhir, kepercayaan publik terhadap Polri mengalami penurunan signifikan. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Polri turun menjadi 53% setelah kasus pembunuhan yang melibatkan aparat kepolisian dan pemukulan bos toko roti terhadap karyawan yang diabaikan selama dua bulan sampai akhirnya viral.
Dalam konteks Indonesia, saya menyoroti tantangan besar yang dihadapi negara ini dalam membangun institusi yang inklusif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Meski telah mencapai status negara berpendapatan menengah ke atas, Indonesia masih tergolong sebagai negara “medioker” dengan skor demokrasi yang cacat (6,53) dan tingkat korupsi tinggi (CPI 34). Masalah utama mencakup dominasi elit, praktik korupsi yang meluas, kurangnya transparansi, serta sistem hukum yang lemah dan tidak independen. Regulasi yang belum optimal dan hubungan antara pemerintah serta sektor swasta yang kurang sinergis turut menjadi hambatan. Untuk maju, Indonesia perlu memperkuat reformasi kelembagaan dengan fokus pada akuntabilitas, transparansi, dan inklusivitas dalam pengelolaan sumber daya serta kebijakan publik.
Sebuah Pola
Setelah membaca berbagai dinamika yang dialami bangsa dalam mengelola institusi ekonomi dan politiknya, saya dapat melihat adanya pola yang sama dari setiap negara. Pola teresebut menentukan apakah negara tersebut akan menerapkan sistem yang inklusif atau ekstraktif. Negara Dengan sistem politik inklusif memiliki pemimpin dan sistem pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan bersama, porsi pemikiran para penguasa adalah bagaimana mencapai kesejahteran. Negara dengan sistem ekstraktif cenderung memiliki pemimpin yang berusaha keras untuk mempertahankan hegemoni kekuasaannya. Bagaimana mempertahankan kekuasaan, bagaimana membuat elite tetap loyal sehingga kadang kala inovasi dipandang sebagai sebuah ancaman bukan kemajuan, orang/pihak kritis dipadang mengusik ketentraman bukan potensi kemajuan.
Dalam konteks politik, pada sistem pemerintahan ekstraktif, sudut pandang penguasa adalah mempertahankan kekuasaan (power) sebanyak dan selama mungkin tetapi mustahil untuk dicapai sendiri. Penguasa membutuhkan bantuan elite untuk mencapainya melalui pengalokasian sumber daya. Yang menjadi permasalahan adalah sumber daya yang disalurkan pada masyarakat akan memberikan kontribusi yang sedikit dalam mencapai kekuasaan dibandingkan dengan alokasi seumber daya yang diberikan pada elite.
Saya teringat kata budayawan Sujiwo Tedjo di media “sekarang ini tidak ada kalimat yang lebih lucu dari omongan politisi yang mengatakan Demi Bangsa dan Negara” mengapa lucu karena mimpi apa yang disampaikan para elite politik kerap kali beda dengan Tindakan dan regulasi yang dihasilkan. Praktik semacam ini tampaknya tidak hanya di tingkat nasional, di tingkat birokrasi bawahnya pun kerap terjadi melalui kata kata mutiara “Demi Lembaga”.
Reformasi politik diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, didukung oleh pengembangan institusi demokrasi yang kuat dan independen. Selain itu, partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam proses politik harus ditingkatkan untuk memastikan aspirasi publik tercermin dalam kebijakan yang diambil. Pengawasan yang ketat terhadap kekuasaan juga menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan menciptakan tata kelola yang lebih adil dan efektif. Terakhir saya masih percaya bahwa kita berada dalam track menuju kondisi yang ideal, harapan Indonesia bisa mencapai kondisi ideal seperti negara-negara yang telah menerapkan institusi politik dan ekonomi inklusif masih ada. Kita semua harus satu nafas, bahwa kesejahteraan menjadi mimpi bersama.
***
Artikel Opini Ditulis oleh Gentur Jalunggono, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi UNS.