KORAN TIMES-OPINI-Ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan dalam aksi “Indonesia Gelap”, kita seolah dibawa kembali ke momentum heroik Reformasi 1998. Namun, ada perbedaan mendasar: jika dulu mahasiswa berjuang untuk menumbangkan rezim otoriter, kini mereka berjuang melawan kemunduran demokrasi yang terjadi secara sistematis dan perlahan.
13 tuntutan yang disuarakan BEM SI mencerminkan kompleksitas permasalahan bangsa yang tak jauh berbeda dengan era pra-reformasi. Dari isu pendidikan gratis hingga reformasi kepolisian, dari penolakan revisi UU yang kontroversial hingga tuntutan reforma agraria sejati – semua ini menunjukkan bahwa cita-cita reformasi 1998 masih jauh dari tercapai.
Yang menarik, gerakan mahasiswa kini menunjukkan kedewasaan dalam artikulasi tuntutan. Mereka tidak sekadar meneriakkan slogan-slogan populis, tetapi menyodorkan kritik substantif terhadap kebijakan pemerintah. Tuntutan pencabutan Inpres No.1/2025 dan evaluasi program makan bergizi gratis, misalnya, menunjukkan kepekaan mereka terhadap dampak kebijakan pada masyarakat grassroot.
Namun, ada ironi yang perlu kita cermati. Dua puluh tujuh tahun setelah reformasi, kita masih menyaksikan upaya-upaya sistematis untuk membungkam suara kritis, termasuk melalui revisi UU Minerba yang mengancam kebebasan akademik. Multifungsi ABRI yang sempat menjadi momok di era Orde Baru, kini mengintip kembali melalui berbagai regulasi yang memberikan ruang bagi militer dalam urusan sipil.
Pertanyaannya: mengapa setelah 27 tahun reformasi, mahasiswa masih harus turun ke jalan? Jawabannya sederhana namun menohok: karena reformasi baru sebatas pergantian rezim, bukan transformasi sistem. Oligarki masih berkuasa, korupsi masih merajalela, dan kepentingan rakyat masih kerap dikesampingkan demi “pembangunan”.
Gerakan “Indonesia Gelap” seharusnya menjadi wake up call bagi pemerintahan Prabowo. Tuntutan reformasi kepolisian dan penolakan revisi UU TNI-Polri menunjukkan bahwa publik masih trauma dengan pendekatan keamanan yang represif. Sementara tuntutan efisiensi Kabinet Merah Putih mengindikasikan ketidakpercayaan terhadap komitmen pemerintah dalam mengelola negara.
Yang lebih penting, gerakan ini mengingatkan kita bahwa mahasiswa masih memegang peran vital sebagai conscience of society. Mereka adalah pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar prosedural, tapi harus membawa kesejahteraan bagi rakyat. Ketika suara rakyat dibungkam, suara mahasiswa menjadi manifestasi aspirasi publik yang terpendam.
Pemerintah perlu menyadari bahwa mengabaikan 13 tuntutan ini sama dengan mengabaikan amanat reformasi. Dialog substantif, bukan pendekatan keamanan, adalah jalan terbaik merespons gerakan mahasiswa. Sebab, seperti kata pepatah lama: suara mahasiswa adalah suara rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan.
Reformasi 1998 mungkin telah berlalu, tapi semangatnya harus terus hidup. Gerakan “Indonesia Gelap” mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk demokrasi sejati dan keadilan sosial belum usai. Dan seperti 1998, mahasiswa kembali berdiri di garda terdepan perubahan.
Lebih jauh lagi, gerakan mahasiswa saat ini menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibanding era 1998. Di era digital, mereka harus berhadapan dengan disinformasi dan propaganda yang dapat mengaburkan esensi perjuangan mereka. Namun, justru di sinilah letak kekuatan baru gerakan mahasiswa: kemampuan mereka mengorganisir dan menyebarkan informasi melalui platform digital telah menciptakan jejaring solidaritas yang lebih luas dan efektif.
Fenomena “Indonesia Gelap” juga menunjukkan bahwa generasi muda memiliki kesadaran politik yang lebih sophisticated. Mereka memahami bahwa perubahan tidak bisa dicapai hanya melalui demonstrasi jalanan, tetapi juga membutuhkan strategi advokasi yang berkelanjutan. Pembentukan think tank mahasiswa, penelitian independen, dan kolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat sipil menunjukkan evolusi gerakan mahasiswa yang lebih matang.
Yang tidak kalah penting adalah bagaimana gerakan ini telah berhasil membangun narasi yang menghubungkan isu-isu mikro dengan persoalan makro struktural. Misalnya, ketika membahas kenaikan harga bahan pokok, mereka tidak berhenti pada kritik terhadap kebijakan ekonomi, tetapi mengaitkannya dengan isu oligarki dan ketimpangan struktural yang lebih luas.
Pemerintahan baru di bawah Prabowo perlu memahami bahwa responsivitas terhadap tuntutan mahasiswa bukan sekadar urusan stabilitas politik jangka pendek. Ini adalah kesempatan untuk melakukan koreksi historis dan mengembalikan demokrasi Indonesia ke jalur yang benar. Mengabaikan momentum ini hanya akan memperdalam krisis legitimasi dan memperlebar jurang antara negara dengan rakyatnya.
Pada akhirnya, gerakan mahasiswa hari ini adalah cermin dari kegagalan elit politik dalam menuntaskan agenda reformasi. Namun, ia juga menjadi bukti bahwa api perubahan masih menyala dalam dada generasi muda Indonesia. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengkonversi energi perlawanan ini menjadi kekuatan transformatif yang mampu mendorong perubahan sistemik yang sejati.
Sejarah telah membuktikan bahwa mahasiswa selalu hadir di titik-titik kritis perjalanan bangsa ini. Kini, di tengah ancaman kemunduran demokrasi, peran mereka kembali dibutuhkan. Bukan sekadar sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai arsitek masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.
Penulis:Darju Prasetya pengamat politik dan gerakan Mahasiswa alumnus UNS Solo.
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com.
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.