OPINI-KORAN TIMES,Pemilu 2019 lalu harusnya menjadi pelajaran penting pesta demokrasi lima tahun di Indonesia. Pada tahun tersebut, setidaknya dari catatan Panwaslu ada sekitar 20 orang yang mengalami kekerasan fisik karena berbagai alasan.
Kekerasan fisik dalam perayaan pemilu tersebut kembali terjadi baru-baru ini. Prajurit TNI melakukan penganiayaan terhadap tujuh relawan Ganjar Pranowo di Boyolali. Akibatnya, sejumlah korban dilarikan ke RSUD, untuk mendapatkan perawatan medis.
Sangat disayangkan, kejadian menyedihkan itu para aktor utamanya adalah mereka yang harusnya menjaga ketertiban, keamanan dan kedamaian di Pemilu 2024.
Denpom IV/4 Surakarta pun sudah menetapkan enam prajurit TNI sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap para relawan dari mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut.
Publik tentu memberikan harapan besar. Agar keadilan ditegakkan. Bukan dipermainkan dan mengelabuhi hati nurani masyarakat yang sudah memberikan kepercayaan pada lembaga ini. Saya rasa, kepercayaan TNI sangat dipertaruhkan dalam kasus tersebut.
Hemat saya, kekerasan fisik di Pemilu 2024 ini harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Apalagi, jika korbannya adalah rakyat sipil yang harusnya menikmati kebahagiaan dan riang gembira dalam pesta demokrasi ini.
Koar-koar soal pemilu damai yang disampaikan oleh presiden, KPU dan Bawaslu jangan hanya jadi bualan belaka. Tapi realisasinya “jauh panggang dari api.”
Publik juga meminta agar para politikus dari tim capres dan cawapres ini mengoreksi dirinya sejenak. Publik sudah begitu bosan menonton saling serang verbal antar tim pendukung yang tak ada makna dan kosong nilai edukasinya pada masyarakat tersebut.
Ya, mereka jauh dari kata etika politik yang selama ini diteriakkan oleh mereka sendiri. Adu gagasan, adu ide, adu pikiran. Semua ternyata hanya pepesan kosong dan menipu.
Kekerasan Terhadap Konstitusi
Masyarakat juga harus menyadari. Kini kekerasan di Pemilu 2024 tak hanya berupa kekerasan fisik saja. Ada yang lebih nestapa. Yakni kekerasan terhadap konstitusi. Barang suci ini kini seperti diinjak-injak, dipreteli dan seperti tak ada harga dirinya lagi.
Fenomena gunung es dari kekerasan ini adalah saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengakali konstitusi hingga anak presiden bisa sedemikian mulus bisa maju di kontestasi politik nasional.
Kini para aktor dan para pendukungnya pun tetap maju ke depan mengikuti kontestasi ini. Mereka seperti tak merasa berdosa setelah melakukan kesalahan besar pada negara dan rakyat Indonesia. Pelanggaran kode etik berat bukan menjadi persoalan apapun bagi mereka.
Mereka secara tak malu mendukung dan mengusung, meminjam istilah yang digunakan oleh Majalah Tempo: kandidat paling buruk dalam sejarah Indonesia modern: produk gagal reformasi bersanding dengan anak haram konstitusi.
Kekerasan pada konstitusi terbaru adalah, terdapat setidaknya enam pemerintah daerah (pemda) yang membatalkan izin kampanye Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, menjelang pelaksanaan acara.
Disayangkan, padahal agenda kampanye adalah seruan resmi konstitusi. Hal itu agar masyarakat Indonesia tak “membeli kucing dalam karung.” Diadakannya kampanye, karena di dalamnya ada hak masyarakat untuk mengetahui siapa calon pemimpin mereka kelak.
Namun, sepertinya pemda-pemda yang mencabut kampanye dari Koalisi Perubahan ini ingin menampakkan cara ketidaknetralan di Pemilu 2024 nanti kepada publik. Miris bukan?
Akhirnya, dari rentetan kekerasan fisik dan kekerasan pada konstitusi ini, pihak berwajib, dalam hal ini pemerintah pusat harus memberikan ketegasan dan kejujurannya. Bahwa mereka tidak sedang main-main dan membodohi rakyatnya sendiri.
Jika masih tak ada ketegasan dan memberikan keadilan dalam menyikapi terjadinya kekerasan-kekerasan di atas tersebut. Maka, bisa publik simpulkan: inilah potret omong kosong pemilu damai. (*)
Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. Tidak ada keterkaitan secara langsung dengan Redaksi Koran Times.