OPINI-Pada Minggu (19/11/2023) lalu, Mahfud MD hadir dalam acara ulang tahun Mata Najwa dan memberi kado istimewa. Kado yang dibawa tokoh asal Madura, Jawa Timur itu memiliki filosofi yang dalam.

Kado penuh makna tersebut diberikan langsung oleh Mahfud MD dalam bentuk replika orang yang sedang naik tangga. Sambil memberikan kado istimewanya, pria yang kini jadi Menkopolhukam tersebut berkata pada Najwa Shihab. “Melangkah ke puncak itu harus melalui satu tangga persatu tangga. Dan Anda akan berhasil nanti mencapai puncak.”

Publik membaca, secara tidak langsung, kado Mahfud MD untuk Najwa Shihab itu memberikan semacam sindiran halus untuk putra Presiden Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka, yang juga hadir dalam acara tersebut.

Anda sudah tahu. Hingga kini publik masih belum berhenti mengkritik soal majunya Gibran sebagai cawapres. Objek protes itu bukan soal hak asasi dalam politiknya, namun lebih kepada prosesnya yang dinilai tak patut. Hanya bermodalkan pangalaman jadi kepala daerah dua tahun, lewat tangan pamannya Anwar Usman di Mahkamah Konstitusi (MK), ia dengan mudahnya jadi cawapres Prabowo Subianto. Klaimnya, ingin berkontribusi untuk Negeri Khatulistiwa yang sangat besar ini dengan ikhlas seperti bapaknya.

Khayalak pun sudah mengetahui, Anwar Usman sudah diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat terkait uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Putusan ini diketuk oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam sidang pembacaan putusan etik, pada Selasa (7/11/2023) lalu.

READ  KOHATI dan Konsep Independent Women Menuju Muslimah Insan Cita

MKMK menyatakan, Anwar terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.

Pelanggaran kode etik berat tersebut setelah MK, yang saat itu dinakhodai oleh Anwar Usman mengabulkan gugatan terkait syarat usia capres-cawapres pada Senin (16/10/2023).

Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.

Pertanyaan mendasar, katakanlah Gibran menang di pesta demokrasi lima tahunan nanti, lalu apa yang kita harapkan dengan Indonesia di masa depan jika dipimpin sosok yang dihasilkan dari pelanggaran kode etik berat tersebut?

Negara demokrasi seperti Indonesia ini akan indah sejak dalam teori, retorika, hingga implementasinya. Tapi ketika dipimpin oleh sosok yang instan, dihasilkan dari proses pelanggaran kode etik berat, maka korbannya dikemudian hari adalah rakyat sipil yang tak berdosa. Mereka akan jadi korban dari pihak-pihak yang hanya haus kekuasaan tersebut.

Bila dalam satu persoalan diawali dengan masalah, maka dikemudian hari bukan tidak mungkin akan lahir masalah demi masalah yang lebih parah. Naik secara tak etis, turun pun akan jatuh dengan tidak hormat. Ketika proses kepemimpinan melukai nurani, bukan tidak mungkin pula dikemudian hari menjual kehormatan bangsanya sendiri. Tentu, ini bukan panjatan doa yang negatif pada Tuhan, tapi demikianlah semesta memberikan keadilannya.

READ  Ndasmu Etik

Deretan tokoh pun sudah galau dengan tontonan politik penuh intrik ini. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahkan menyebut, apa yang terjadi di MK sebagai manipulasi hukum.

Budayawan Goenawan Mohamad pun tak lebih kekecewaannya. Ia menilai demokrasi saat ini mengkhawatirkan. Menurutnya, tatanan hukum telah dirusak oleh MK di era kepemimpinan Presiden Jokowi itu.

“Kalau MK merusak, maka kepercayaan orang kepada wasit yang tidak memihak akan hilang dan kalau kepercayaan hilang maka konflik tidak bisa diatasi dengan damai,” kata pendiri Majalah Tempo itu saat menjadi pembicara diskusi yang digelar Komunitas Utan Kayu dengan tema ‘Demokrasi dan Ancaman Terhadapnya’ di Jalan Utan Kayu Raya, Matraman, Jakarta Timur, Jumat (17/10/2023).

Akhirnya, saya ingin mengakhiri tulisan ini begini: buah yang segar, manis dan enak dimakan, bervitamin bagi tubuh, adalah buah yang matang di pohonnya secara alami, atau jatuh karena sudah saatnya di konsumsi.

Buah ini tentu berbeda dengan buah yang karbitan. Yang nampak kulitnya cantik merona, terlihat segar isinya, tapi saat dimakan, ternyata rasanya aneh. Dan ketahuilah, buah seperti ini besoknya juga akan busuk, dan sangat busuk. Demikian buah matang yang dihasilkan dengan cara-cara instan. Pun dengan seseorang, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Kawan, kata bahasa Jawa, ojo koyo Gibran. Mari berproses dengan sabar dan sabar, tekun, konsisten. Jika nanti saatnya tiba, proses itu akan terbayar dengan setimpal. Tanpa harus lewat orang dalam. Demikian. (*)

Print Friendly, PDF & Email