πΎπΏπΈπ½πΈ, πΊπΎππ°π½ ππΈπΌπ΄π-Kasus pemerkosaan yang melibatkan seorang dokter PPDS di RSHS Bandung bukan sekadar cerita tentang kejahatan seksual biasa. Ini adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan yang fundamental – kepercayaan masyarakat terhadap profesi yang seharusnya menjadi pelindung dan penyembuh.
Ketika seorang dokter mengkhianati sumpah profesinya dan justru menjadi pemangsa, dampaknya jauh lebih dalam dari sekadar statistik kriminal. Ini adalah pembunuhan karakter terhadap seluruh institusi kesehatan. Bagaimana mungkin masyarakat bisa merasa aman ketika mencari pertolongan medis, jika “malaikat berbaju putih” bisa berubah menjadi predator?
Data Komnas Perempuan yang mencatat tiga kasus kekerasan seksual di fasilitas kesehatan sepanjang tahun 2024 mungkin terlihat kecil secara angka. Namun, seperti fenomena gunung es, angka ini hanyalah puncak yang terlihat dari masalah yang jauh lebih besar dan dalam. Berapa banyak korban yang memilih bungkam karena takut atau malu?
Kasus ini juga membuka mata kita tentang urgensi reformasi sistem pengawasan di institusi kesehatan. Kelainan seksual yang disebutkan sebagai motif pelaku seharusnya bisa terdeteksi lebih awal melalui screening yang ketat. Mengapa sistem yang ada gagal menangkap red flags ini?
Rekomendasi Komnas Perempuan untuk menetapkan kebijakan ‘Zona Tanpa Toleransi’ adalah langkah yang tepat, tetapi tidak cukup. Kita membutuhkan revolusi dalam sistem rekrutmen, pengawasan, dan perlindungan di fasilitas kesehatan. Sistem CCTV yang komprehensif, protokol pendampingan pasien yang ketat, dan mekanisme pelaporan yang aman dan mudah diakses harus menjadi standar minimum.
Yang lebih penting lagi, kita perlu mendobrak kultur “diam” yang sering kali menyelimuti kasus-kasus seperti ini. Penolakan terhadap pendekatan restorative justice dalam kasus ini harus didukung penuh. Kejahatan seksual di fasilitas kesehatan tidak boleh diselesaikan dengan “damai” atau “kekeluargaan”.
Profesi dokter memang mulia, tapi kemuliaan itu harus dijaga dengan sistem yang tegas dan transparan. Kepercayaan publik yang telah ternoda hanya bisa dipulihkan dengan reformasi sistemik yang menyeluruh, bukan sekadar penanganan kasus per kasus.
Kita tidak bisa membiarkan rumah sakit, yang seharusnya menjadi tempat penyembuhan, berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi pasien dan keluarganya. Sudah saatnya kita membangun sistem yang tidak hanya mengobati penyakit fisik, tetapi juga menjamin keamanan dan martabat setiap orang yang mencari pertolongan medis.
Lebih jauh lagi, kasus ini mengungkap kelemahan sistemik dalam pendidikan kedokteran kita. Pembentukan karakter dan etika profesional tidak boleh hanya menjadi mata kuliah sampingan atau sekadar formalitas. Perlu ada transformasi fundamental dalam kurikulum pendidikan kedokteran yang menempatkan pembentukan integritas moral setara dengan penguasaan kompetensi medis.
Institusi pendidikan kedokteran harus mulai menerapkan evaluasi psikologis berkala dan pembinaan karakter yang berkelanjutan. Bukan hanya saat seleksi masuk, tetapi sepanjang masa pendidikan hingga praktik profesional. Sistem mentoring yang kuat antara dokter senior dan junior juga perlu diperkuat untuk membangun role model positif dan mencegah penyimpangan perilaku.
Aspek penting lainnya adalah penguatan peran organisasi profesi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak bisa lagi sekadar menjadi “pembela” ketika ada kasus, tetapi harus proaktif dalam pencegahan. Program-program pembinaan etik, workshop pengelolaan stress, dan dukungan kesehatan mental untuk para dokter harus menjadi prioritas.
Keterlibatan masyarakat sipil juga crucial dalam membangun sistem pengawasan yang efektif. LSM, aktivis kesehatan, dan kelompok advokasi pasien perlu dilibatkan dalam pengembangan kebijakan dan monitoring implementasinya. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi norma, bukan pengecualian.
Di era digital ini, kita juga perlu memanfaatkan teknologi untuk memperkuat sistem pengawasan. Aplikasi pelaporan digital yang aman dan anonymous, sistem tracking real-time untuk jadwal konsultasi, hingga artificial intelligence untuk mendeteksi pola-pola mencurigakan dalam perilaku tenaga medis bisa menjadi solusi inovatif.
Yang tidak kalah penting adalah membangun kesadaran kolektif di kalangan tenaga kesehatan sendiri. Budaya “whistle-blowing” yang konstruktif harus didorong, di mana setiap personel kesehatan merasa bertanggung jawab untuk melaporkan perilaku tidak etis rekan sejawat. Ini bukan soal “mengkhianati” profesi, tapi justru melindungi kemuliaan profesi.
Reformasi sistem juga harus menyentuh aspek perlindungan hukum bagi korban. Proses pelaporan dan penanganan kasus harus dibuat seramah mungkin bagi korban, dengan dukungan psikososial yang memadai. Viktimisasi sekunder dalam proses hukum harus dicegah dengan protokol khusus penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan medis.
Pada akhirnya, memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi kesehatan adalah tanggung jawab bersama. Setiap pemangku kepentingan – dari pembuat kebijakan, institusi pendidikan, organisasi profesi, hingga masyarakat sipil – harus bergerak bersama dalam agenda reformasi ini. Hanya dengan komitmen kolektif dan tindakan nyata, kita bisa memastikan bahwa profesi dokter tetap menjadi profesi yang mulia dan terpercaya.
Topeng kepercayaan yang dikenakan predator dalam jas putih memang harus dirobek, tapi kita juga harus memastikan bahwa ribuan dokter yang masih memegang teguh sumpah dan etika profesinya tidak ikut tercoreng. Reformasi sistemik yang kita perjuangkan harus mampu melindungi baik pasien maupun integritas profesi kedokteran itu sendiri.
Penulis Darju Prasetya, Pemerhati Persoalan Psikologi, Hak Asasi Manusia dan Kebijakan Kesehatan Alumnus UNS Solo.
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com.
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.