OPINI, KORAN TIMES – Fenomena crab mentality sering kali menjadi perhatian dalam dinamika sosial, termasuk di lingkungan akademik seperti universitas. Istilah ini mengacu pada pola perilaku di mana orang cenderung menjatuhkan atau menghalangi orang lain untuk mempertahankan posisi mereka. Ini mirip dengan kepiting dalam ember yang menarik satu sama lain ketika salah satu mencoba keluar.
Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, institusi yang dikenal dengan semangat excellence with morality, penting untuk menganalisis peristiwa crab mentality yang mungkin terjadi di dalam komunitas akademik. Peristiwa semacam ini tidak hanya mencerminkan tantangan dalam relasi antarindividu, tetapi juga menjadi hambatan bagi penciptaan lingkungan belajar yang kolaboratif dan progresif.
Dalam berbagai kondisi, fenomena crab mentality sering menjadi penghalang bagi kemajuan individu dan kelompok. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, kami dididik untuk mengutamakan etika dan moralitas dalam semua aspek kehidupan, bahkan dalam cara kita berinteraksi dengan orang lain.
Realita menunjukkan bahwa sikap seperti ini masih ada, bahkan di dunia akademik, yang seharusnya memungkinkan kerja sama dan solidaritas. Crab mentality di universitas sering muncul dalam bentuk persaingan yang tidak sehat, seperti persaingan untuk mendapatkan pengakuan, kesempatan beasiswa, atau posisi strategis di organisasi. Misalnya, siswa mungkin menahan diri untuk tidak berbagi informasi penting dengan teman sekelas mereka karena khawatir mereka akan kehilangan kesempatan untuk melakukannya atau bahkan mungkin mencoba menyebarkan informasi yang salah sehingga menghambat kemajuan orang lain.
Pola perilaku ini tidak hanya menimbulkan suasana yang tidak menyenangkan, tetapi juga merugikan semua pihak karena melemahkan semangat untuk bekerja sama. Beberapa faktor dapat diidentifikasi sebagai penyebab utama fenomena ini; ini termasuk tekanan akademik, budaya yang terlalu kompetitif, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya kerja sama. Selain itu, salah satu akar masalah adalah sistem sosial yang seringkali mengutamakan individu daripada kolektivitas.
Sebagai mahasiswa, kami harus menyadari efek negatif dari perilaku ini. Keberhasilan individu tidak hanya menghambat kemajuan pribadi mereka, tetapi juga merusak integritas komunitas akademik. Sebaliknya, keberhasilan seseorang seharusnya memicu rasa iri atau tindakan destruktif. Membangun lingkungan yang mendukung satu sama lain melalui diskusi terbuka, kerja sama dalam proyek, dan penghargaan terhadap prestasi teman adalah solusi. Melalui program pengembangan karakter, seminar, dan kegiatan pembinaan, universitas juga dapat menanamkan etika.
Oleh karena itu, mahasiswa Universitas Airlangga memiliki kapasitas untuk menjadi agen perubahan yang mendukung kemajuan bersama dan mengutamakan kepentingan individu.
***
Opini Ditulis oleh Achmad Derajat Wibowo, Mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya.