OPINI-KORAN TIMES-Tampaknya tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa saat ini tujuan akhir reformasi bukanlah desentralisasi, namun resentralisasi.

Bayangkan Indonesia sebagai kapal raksasa yang dulu pernah mengibarkan layar reformasi, melaju dengan semangat baru menuju pelabuhan demokrasi dan desentralisasi. Setiap daerah diharapkan menjadi nahkoda bagi nasibnya sendiri, mengatur sumber daya, menyusun arah, menentukan ke mana kapal kecilnya akan berlayar. Namun kini, dua dekade berlalu, kapal besar itu tampak berputar arah. Kompasnya seperti dimagnetisasi ulang, tak lagi menunjuk ke kebebasan lokal, tapi kembali ke pusat kekuasaan. Seolah kita sedang kembali ke pelabuhan lama, hanya dengan cat dan jargon yang lebih segar. Demokrasi dijanjikan, tetapi kendali justru dipusatkan. Apakah ini pelayaran yang kita inginkan?

Desentralisasi yang menjadi salah satu tonggak utama reformasi justru mengalami kemunduran dalam satu dekade terakhir. Alih-alih memperkuat kapasitas daerah dan memperluas partisipasi publik, berbagai kebijakan negara justru mengonsolidasikan kembali kekuasaan ke tangan pusat. Berbagai penelitian telah memperlihatkan kecenderungan ini. Selama satu dekade terakhir, negara ini memperlihatkan gejala nyata ke arah resentralisasi melalui penarikan kembali kewenangan yang dulu diberikan kepada daerah (Mccharty dkk, 2016; Jaffrey & Warburton, 2024; Syukri, 2024).

Pemerintah daerah, baik provinsi, kabupaten/kota, bahkan desa lebih sering tampil sebagai pelaksana kebijakan nasional daripada sebagai entitas otonom yang memiliki kedaulatan dalam pengambilan keputusan. Resentralisasi kekuasaan tidak datang dengan gegap gempita. Ia hadir perlahan dan tersembunyi, melalui instrumen-instrumen hukum yang disebut sebagai soft law (Mccharty dkk, 2016).

Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Menteri (Permen) menjadi instrumen utama negara untuk mengatur ulang relasi kekuasaan antara pusat dan daerah. Tidak seperti undang-undang yang membutuhkan persetujuan parlemen dan perdebatan publik yang luas, soft law ini seringkali diterbitkan dengan cepat dan minim partisipasi publik. Dalam banyak kasus, pendekatan ini menjadi cara negara menghindari konfrontasi politik terbuka sembari memperkuat kontrol dari atas.

Sektor sumber daya alam menjadi salah satu medan utama dari proses resentralisasi ini. Alih-alih memperkuat kewenangan daerah seperti yang diharapkan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah justru menarik kembali kendali atas sektor-sektor sumber daya alam strategis seperti pertambangan, kehutanan, kelautan, dan perikanan ke tangan pemerintah pusat. Dengan dalih defisit kapasitas birokrat di daerah dan standarisasi kebijakan, daerah kehilangan wewenangnya untuk menentukan arah pembangunan wilayahnya.

Hal yang sama terjadi dalam konteks transisi energi. Berbagai regulasi seperti PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), hingga Perpres No. 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan semuanya mencerminkan pembalikan arah menuju resentralisasi. Pemerintah daerah kini kerap diposisikan tidak lebih dari sekadar pelaksana administratif dan pemberi legitimasi atas kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ruang gerak mereka untuk menentukan arah pembangunan di wilayahnya sendiri menjadi semakin sempit.

READ  Meningkatnya Kasus Pembunuhan: Antara Faktor Sosial, Agama, dan Tantangan Moral Masyarakat

Kondisi ini semakin mengemuka ketika suatu wilayah ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), yang secara otomatis mendorong pemerintah daerah untuk turut mensukseskan apa yang menjadi rencana dari pemerintah pusat. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah kehilangan kapasitas deliberatif untuk menyampaikan aspirasi, menegosiasikan kepentingan lokal, maupun mempertimbangkan dampak kebijakan secara komprehensif.

Resentralisasi Kebijakan ini tidak berjalan sendiri. Proses ini berjalan beriringan dengan penguatan institusi koersif negara. Kejaksaan, Kepolisian, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan peran yang semakin besar dalam memastikan proyek-proyek pembangunan berjalan sesuai rencana pusat. Penguatan institusi koersif melalui revisi berbagai undang-undang pun dilakukan. Pada tahun 2021, Revisi Undang-Undang Kejaksaan telah dilakukan dengan sejumlah ketentuan yang menuai kontroversi. Beberapa di antaranya mencakup perluasan peran kejaksaan dalam mengawasi ruang media, sebagaimana juga tercermin dalam revisi UU TNI dan RUU Polri, lemahnya mekanisme pengawasan internal terhadap institusi kejaksaan, serta penambahan fungsi intelijen yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

Selain itu, pemberian wewenang kepada jaksa untuk menghentikan perkara atas nama restorative justice (RJ) juga dinilai membuka celah bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan. Penguatan institusi koersif berlanjut dengan perubahan Undang-Undang TNI, yang semakin menegaskan kembalinya peran dwi-fungsi militer dalam kehidupan sipil serta memperluas cakupan kewenangan TNI di luar kerangka pertahanan negara.

Dalam waktu dekat, pemerintah bersama parlemen juga disinyalir akan mendorong revisi terhadap Undang-Undang Polri, yang menuai kritik tajam dari berbagai kelompok masyarakat sipil karena dianggap memperluas kekuasaan aparat tanpa disertai mekanisme akuntabilitas yang memadai.

Langkah-langkah ini menunjukkan pola konsisten dari negara untuk memperkuat institusi koersif sebagai strategi utama dalam memastikan keberlangsungan agenda pembangunan yang semakin sentralistik. Dengan mengonsolidasikan kendali atas lembaga penegak hukum dan keamanan, negara memperluas kemampuannya untuk mengawasi, menertibkan, bahkan menekan segala bentuk dinamika lokal yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan pembangunan nasional.

Redemokratisasi Negara

Di Tengah arus balik dari desentralisasi menuju resentralisasi, serta dalam bayang-bayang menguatnya kontrol negara atas berbagai aspek kehidupan publik, kita perlu memikirkan ulang gagasan tentang redemokratisasi negara. Redemokratisasi berarti merestorasi negara dari alat kuasa menjadi alat dengar, dari penguasa menjadi penjaga ruang bersama.

Redemokratisasi negara bukan sekadar soal membuka ruang partisipasi, melainkan juga mendesak negara untuk melepaskan cengkeraman otoritarianisme terselubung, menata ulang relasi antara pusat dan daerah, serta membangun kembali institusi-institusi yang berpihak pada kepentingan publik, bukan elite semata.

READ  Madura, Sumber Daya Alam Hingga Budaya Carok

Redemokratisasi negara harus dimaknai sebagai upaya mengembalikan negara dari instrumen kekuasaan menjadi arena kolektif yang terbuka bagi negosiasi kepentingan, pembentukan konsensus, dan artikulasi kepentingan rakyat. Ini adalah proses restoratif yang menempatkan negara bukan sebagai aktor tunggal yang serba tahu, melainkan sebagai fasilitator kepentingan publik yang inklusif dan deliberatif.

Sebagaimana ditegaskan oleh Fung dan Wright (2003) bahwa demokrasi sejati mensyaratkan pelembagaan ruang partisipatif dan mekanisme deliberatif yang memadai guna melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka.

Gagasan ini menuntut keberanian untuk membongkar dan mendesain ulang arsitektur tata kelola negara yang selama ini cenderung mengarah pada resentralisasi dengan Kebijakan top-down dan teknokratis. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu Pertama, redemokratisasi menuntut pencabutan dan revisi berbagai kebijakan sentralistik yang menggerus otonomi daerah, dengan mengembalikan kewenangan substantif ke tingkat lokal, termasuk dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam. Kedua, negara perlu memperkuat kemampuan dan kesadaran politik warga akan hak-haknya sehingga impunitas dan kehampaan hak warga negara tidak tereproduksi terus menerus.

Ketiga, penting untuk membentuk mekanisme deliberatif yang mengikat dalam proses legislasi dan perumusan kebijakan, bukan sekadar konsultasi simbolik. Keempat, perlu ada reorientasi terhadap fungsi institusi koersif negara agar tunduk pada prinsip-prinsip keadilan sosial, penghormatan pada Hak Azasi Manusia (HAM) dan juga supremasi sipil.

Jika langkah-langkah ini tidak segera dilakukan, maka demokrasi akan terjebak hanya menjadi sekadar dekorasi dalam sistem politik yang semakin otoriter. Penyusutan ruang sipil akan terus terjadi, dan proyek Pembangunan hanya akan memperlebar ketimpangan serta mengamplifikasi konflik sosial. Pelayaran kapal besar bernama Indonesia ini akan menjauh dari pelabuhan keadilan sosial dan kedaulatan rakyat.

Saatnya kita membaca ulang peta reformasi bukan hanya sebagai dokumen sejarah, tetapi sebagai kompas moral yang pernah menyalakan harapan akan demokrasi, redistribusi kekuasaan melalui desentralisasi, dan diskursus keadilan sosial. Negara harus kembali menjadi milik rakyat, bukan sekadar atas nama mereka, tapi bersama mereka. Redemokratisasi bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan dan jalan pulang menuju republik yang berpihak pada rakyatnya.

Penulis: Martin Dennise Silaban (Peneliti di SHEEP Indonesia Institue dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM)

Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.

Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com.

Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.