“Salam Setthong Dere”
“Lebbi bheghus pote tolang, tembheng pote matah,”
Dua selogan di atas seakan menjadi simbol, siapa sebenarnya orang Madura. Dua kalimat identitas suku masyarakat pulau garam itu sangat kental. Bahkan sering digaungkan masyarakat dilingkungan madura hingga kancah Nasional.
Sudut pandang epistemologi dari kalimat itu, menunjukkan semua Masyarakat Madura adalah saudara. Pada selogan ke dua, ditafsiri harga diri yang tidak boleh diinjak-injak oleh siapapun. Sehingga mata tidak boleh putih. Harus ada tindakan, hingga persoalan terselesaikan.
Madura adalah sebuah pulau, dikenal dengan produksi garam yang sangat tinggi. Banyak orang di luar Pulau Madura, mengenalnya dengan sebutan pulau garam.
Suasana Madura cukup keras, karakter masyarakat tangguh, tekad bulat dan siap menanggung segala resiko. Hal itu sepertinya menjadi khas penduduk Pulau Madura. Khas tersebut, terbentuk secara alamiah.
Dipengaruhi cuaca panas. Baik pesisir pantai bagi masyarakat dekat lautan dan tanah yang keras bagi masyarakat pegunungan. Hal itu menjadi sampel yang membentuk kepribadian Orang Madura.
Selogan sakral, “lebih baik putih tulang daripada putih mata,” hingga saat ini, tetap mendarah daging dari generasi ke generasi. Secara prinsip, selogan tersebut merupakan upaya menjaga harkat dan martabat.
Namun, saat ini justru selogan tersebut seolah senjata makan tuan. Kegigihan dan keberanian tak jarang menjadi penyebab pertumpahan darah sesama Madura.
Apa kabar “Salam Setthong Dere,” (Salam Satu Darah) Selogan persaudaraan yang memberi isyarat, darahmu adalah darahku, darahku adalah darahmu, haram bagiku untuk menumpahkan darahmu, sebab darah kita sama. Selogan filosofis, yang seolah saat ini hanya menjadi salam hangat, saat sesama orang Madura beru kenal dan bertemu di pulau lain.
Sementara pada sarang sendiri. Apalagi satu darah sesama Madura. Satu darah dalam keluarga, tak jarang terjadi aksi tragis. Terlepas dari motif apapun tragedi darah asin tersebut.
Jelasnya, warisan tradisi dan budaya murni Madura mengalami pergeseran nilai. Keberanian untuk bersikap, siap mengambil resiko apapun dan tekad yang kuat masih salah sasaran.
Oleh karena itu, perlu Masyarakat Madura mengelola budaya, adat istiadat dengan nilai yang arif dan bijaksana. Budaya minta maaf dan merendah bukanlah suatu bentuk kekalahan, apalagi simbol kekalahan.
Jika tidak begitu, keberanian orang Madura tak selalu dikonotasikan pada carok dan berani mati kapanpun. Sementara masih terlalu banyak arah dan ruang keberanian yang perlu dilalui.
Contoh sederhana, tak sedikit warga yang hidup di Negara tetangga hingga puluhan tahun. Tujuan bekerja. Tekad kuat. Niat tulus, meski terkadang harus tinggal sebatang kara, tanpa mengenali siapapun.
Keberanian dan tekad itu yang perlu diejawantahkan pada pembentukan karakter arif, bijaksana. Walau sejatinya merantau bukanlah langkah satu-satunya membuktikan keberanian.
Penulis mengenal dunia dari bumi Madura, 19 tahun melihat Madura dari dalam pulau. Waktu itu, masih sering sombong, dengan identitas carok dan pemberani di Madura.
Saat ini, mencoba melihat Pulau Madura dari luar. Selain Carok, masih banyak icon Madura yang memiliki potensi besar. Melalui kualitas pendidikan yang didapat dari pesantren, hingga mampu membangun kultur agama, yang kokoh dan kuat di bumi Madura.
Penulis adalah Zaini Dahlan seorang Wartawan Muda Indonesia yang tergabung dalam PWI dan bekerja di wilayah Pamekasan Madura.
Opini ini sepenuhnya ditanggung penulis. Tidak ada keterkaitan langsung dengan Redaksi Koran Times.