BANTEN, KORAN TIMES – Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan tanah subur dan sumber daya alam yang melimpah, sering dianggap sebagai negara agraris. Secara teori, kekayaan alam ini seharusnya mampu memenuhi kebutuhan ketahanan pangan Indonesia. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada impor pangan Indonesia, perubahan iklim yang mengancam produksi, serta ketidakpastian global. Apakah Indonesia benar-benar aman dalam hal ketahanan pangan?
Ketahanan Pangan Indonesia: Tantangan Impor dan Perubahan Iklim
Ketahanan pangan Indonesia saat ini berada di bawah ancaman serius. Menurut Global Food Security Index (GFSI) 2023, Indonesia menempati peringkat 65 dari 113 negara, menandakan kita masih jauh dari aman. Tantangan utama yang dihadapi adalah ketergantungan pada impor pangan strategis seperti beras, daging sapi, gula, dan kedelai.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada tahun 2023, Indonesia mengimpor sekitar 500.000 ton beras untuk menjaga cadangan nasional. Ketergantungan pada impor pangan Indonesia ini meningkatkan kerentanan terhadap fluktuasi harga dan gangguan pasokan internasional, yang diperparah oleh pandemi dan perang Rusia-Ukraina.
Bagaimana Krisis Pangan Global Mempengaruhi Indonesia?
Lonjakan harga minyak goreng pada tahun 2022 menunjukkan bahwa ketahanan pangan Indonesia tidak hanya soal produksi, tetapi juga terkait dengan manajemen distribusi dan kebijakan yang responsif. Meskipun Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, ketergantungan pada pasar global dan sistem distribusi yang lemah membuat kita tak berdaya saat terjadi guncangan pasar global.
Dampak Perubahan Iklim pada Produksi Pangan Indonesia
Perubahan iklim memperburuk situasi pangan di Indonesia. Fenomena El Niño 2023 memperpanjang musim kemarau, mengurangi hasil panen di berbagai daerah. Menurut BMKG, musim kemarau panjang ini berdampak pada berkurangnya produksi beras Indonesia dan komoditas penting lainnya.
Laporan FAO memperkirakan bahwa tanpa mitigasi, perubahan iklim dapat menurunkan produksi beras Indonesia sebesar 2-4% per tahun. Dampak ini akan memperbesar risiko ketidakamanan pangan, terutama di daerah-daerah yang rentan dan bergantung pada sektor pertanian.
Solusi Pemerintah dalam Menghadapi Krisis Pangan
Pemerintah telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan produksi pangan Indonesia dan mengurangi ketergantungan impor pangan. Subsidi untuk petani kecil dan dorongan penggunaan teknologi pertanian di Indonesia perlu diapresiasi, namun masalah distribusi dan aksesibilitas masih menjadi tantangan utama yang perlu diperbaiki.
Krisis pangan, seperti yang terjadi pada minyak goreng, menunjukkan bahwa penguatan infrastruktur logistik harus menjadi prioritas pemerintah. Selain itu, upaya diversifikasi pangan juga harus lebih ditingkatkan.
Diversifikasi Pangan: Solusi untuk Ketahanan Pangan Indonesia
Selain meningkatkan produksi pangan, diversifikasi pangan Indonesia menjadi langkah penting untuk memperkuat ketahanan pangan. Namun, implementasinya masih belum optimal. Budaya konsumsi beras yang kuat membuat diversifikasi ini berjalan lambat.
Diversifikasi pangan Indonesia harus didukung dengan insentif bagi petani yang menanam komoditas non-beras seperti jagung, ubi, dan sagu, serta kampanye besar-besaran untuk mengubah pola konsumsi masyarakat. Hal ini sangat penting untuk menurunkan ketergantungan pada produksi beras Indonesia dan meningkatkan konsumsi makanan yang lebih bervariasi.
Kesimpulan: Apakah Indonesia Aman dari Krisis Pangan?
Saat ini, Indonesia masih dalam posisi yang rentan terhadap krisis pangan global. Ketergantungan pada impor pangan, perubahan iklim, dan ketidakpastian global adalah tantangan nyata yang menghambat ketahanan pangan Indonesia. Namun, dengan kebijakan yang tepat, inovasi teknologi, dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Indonesia memiliki potensi besar untuk memperkuat ketahanan pangan dan memastikan keamanan dari ancaman krisis pangan di masa depan.
***
*) Oleh Fathin Shalihah, Mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.
*) Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times
*) Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*) Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com.
*) Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.