OPINI-PERGOLAKAN politik nasional makin kian panas. Khususnya di pertarungan Capres 2024. Etika dari calon pemimpin Indonesia selanjutnya ini pun dipertanyakan.
Publik mempertanyakan etika itu karena berpandangan bahwa nilai tersebut menjadi asas urgent, penting yang wajib dimiliki oleh semua sosok jika mau maju sebagai calon pemimpin Negeri Khatulistiwa ini.
Negara sebesar Indonesia, negara sekaya Indonesia, negara yang dibangun dari darah dan air mata oleh para pahlawan, begitu sungguh disayangkan dan begitu amat mahal jika harus dipimpin oleh sosok yang belum “akil baligh” tersebut.
Apa barometer untuk sosok pemimpin di Indonesia? Sederhana: mereka yang pantas menjadi pemimpin adalah mereka yang kata-katanya dan perbuatannya mampu memberikan semangat, teladan, motivasi bagi rakyatnya.
Demikian juga, mereka yang pantas menjadi pemimpin adalah mereka kebijakannya memberikan kenyamanan, kebahagiaan, kesejahteraan, kemerdekaan hidup dan berpikir bagi masyarakat.
Pilpres 2024 sudah dekat. Sudah ada beberapa sosok yang ikut dalam kontestasi politik nasional tersebut. Sayangnya, publik nampaknya kecewa dengan suguhan sosok-sosok yang ada.
Itu setelah sebagian Capres 2024 ini mulai menampakkan sosok aslinya. Sosoknya yang jauh dari harapan pemimpin ideal. Bahkan, jika tak mau disebut, jauh dari kata pantas untuk menjadi seorang leader Tanah Air tercinta kita.
Saya, dan mungkin termasuk Anda percaya, bahwa di semua agama meletakkan etika sebagai dasar yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin. Di dalam agama penulis, misalnya. Islam memaparkan setidaknya penjelasan empat sifat kepemimpinan.
Antara lain pertama, Shiddiq yang artinya pemimpin harus jujur. Kedua, Amanah, artinya mereka mampu menjalankan sekaligus menjaga kepercayaan yang diembankan di pundak secara profesional. Ketiga Tabliq, adalah menyampaikan kebenaran secara berani. Dan keempat, Fathanah. Artinya cerdas, yakni menguasai persoalan dan mengatasi masalah.
Empat sifat kepemimpinan Rasulullah SAW tersebut berakar pada etika. Tanpa nilai etika, tak akan lahir kejujuran. Tanpa etika, tak akan lahir amanah. Tanpa etika, tak akan lahir kebenaran. Tanpa etika, tak akan lahir kecerdasan dalam menguasai persoalan. Apalagi untuk mengatasi masalah-masalah.
Syarat untuk menjadi presiden menurut konsitusi yang termaktub dalam pasal 6 UUD 1945 pun sudah jelas. Salah satunya yakni mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang pemimpin. Sosok yang tak memiliki etika, artinya syarat rohani dan jasmani di konsitusi tersebut adalah belum bisa disebut terpenuhi.
Pesta demokrasi lima tahunan semakin dekat. Ini adalah salah satu momentum yang menentukan Indonesia di masa depan. Baru-baru ini kita pun ditampakkan oleh semesta soal karakteristik calon pemimpin Tanah Air tersebut. Karakteristik yang jauh dari harapan masyarakat yang masih berakal sehat.
Salah satunya pernyataan yang tak patut disampaikan adalah ‘Ndasmu etik’ dan lain sebagainya. Sebuah pernyataan yang keluar dari mulut calon pemimpin. Begitu menjadi ironisnya apalagi Indonesia di masa depan nanti harus dinakhodai oleh sosok demikian. Ya, pepatah lama berbunyi: ‘ikan rusak dari kepala.’ Negara pun akan rusak jika pemimpinnya tak beretika.