OPINI-Beberapa bulan lalu, isu transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat memantik sorotan tajam dari publik. Polemik ini mencuat setelah pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto (25/07) membuat kesepakatan politik dengan Donald Trump untuk melakukan transfer data pribadi warga negara Indonesia ke Amerika Serikat. Dilansir dari sejumlah sumber, kesepakatan ini terjalin sebagai bagian dari kesepakatan perjanjian perdagangan timbal balik antara kedua negara. Tak ayal kebijakan ini menuai kritik dan polemik karena dinilai dapat mengancam keamanan informasi publik, dan negara secara khusus. Terlebih merujuk data dari Protection Laws of The World, sejauh ini AS belum memiliki undang-undang yang melindungi data privasi secara komprehensif setingkat Uni Eropa. Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan teknologi AS di Eropa juga dikenai denda akibat pelanggaran penyalahgunaan data.
Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat seperti saat ini, isu skandal penyalahgunaan data pribadi di balik kebijakan transfer data memang sulit dihindari. Apalagi, dalam banyak kesempatan kasus penyalahgunaan data marak terjadi dari waktu ke waktu, dan menyasar masyarakat di banyak tempat. Munculnya fenomena pinjaman online (Pinjol), judi online (Judul), dan seabrek industri berplatform digital lainnya semakin membuat pintu gerabang praktik penyimpangan data kian terbuka lebar. Dan benar saja, data dari Computer Security Incident Response Team Indonesia (CSIRT) pada 2023 diperoleh temuan, tercatat lebih dari 350 juta insiden serangan siber di sejumlah perusahaan dan lembaga vital di Indonesia menyasar data pribadi publik, yang menyebabkan kerugian setidaknya sebesar 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 15,9 miliar.
Dalam kaitan ini, kita dapat mengasumsikan, tumpah ruah produk teknologi dalam sistem dan struktur sosio-kultur masyarakat modern, masifnya penggunaan internet dan transfer data di ruang digital seperti media sosial dan situs jual beli online sebagai medium menjalin hubungan sosial dan transaksi, pada satu sisi merupakan wujud keniscayaan atas semakin cepatnya transformasi dan perkembangan global. Namun di sisi lain, beralihfungsinya aktivitas masyarakat ke dalam ruang-ruang maya, pada batasan-batasan tertentu, dapat pula menimbulkan risiko-risiko baru. Risiko dimaksud dapat berupa risiko ekonomi, seperti kejahatan skimming pada mesin ATM), risiko globalisasi yang berdampak pada terkikisnya identitas lokal (hibridasi kultur), juga risiko politik, seperti kasus pencurian data oleh Cambridge Analytica pada kontestasi Pilpres 2016 di Amerika Serikat.
Masyarakat Risiko
Dalam buku berjudul, Risk Society: Toward a New Modernity (1992), Urlrich Beck, sosiolog terkemuka dunia mengistilahkan masyarakat yang hidup pada abad modern sebagai masyarakat risiko (risk society). Istilah tersebut dia tujukan untuk melihat realitas masyarakat yang dalam kesehariannya dipenuhi oleh berbagai problem sosial, yang kesemuanya tumbuh akibat meluasnya praktik-praktik imprialisme ekonomi-politik neo capitalisme yang berpusat pada pemeliharaan dan penggunaan teknologi secara massif.
Sebagaimana fenomena neo capitalisme pada umumnya, risk society merupakan representasi masyarakat mutkahir yang kseharian mereka digerakkan oleh produk teknologi. Sekian kecanggihan, kelebihan, dan keunggulan teknologi berakibat signifikan pada hilangnya realitas alami masyarakat. Gerak kehidupan masyarakat yang awalnya bersandar pada cara dan pola alamiah, dalam era risk society mereka mulai meninggalkan pola-pola tradisional tersebut. Sebaliknya, mereka akan lebih memilih meleburkan dirinya dalam tatanan kehidupan yang lebih baru, yakni ruang maya teknologi. Dalam ruang maya inilah, sebut saja Facebook, Twitter, jual beli online dan sekian platform digital lainnya, masyarakat akan lebih banyak menghabiskan waktu. Mulai dari bertukar pikir, melakukan komunikasi, menjalankan aktivitas transaksi. Bahkan hingga yang bersifat personal sekalipun, berbagi dan bertukar data diri, misalnya.
Di sini, kita bisa melihat bagaimana teknologi-media informasi dengan hebatnya dapat menawarkan sekian citraan baru yang mampu menarik perhatian masyarakat. Bahkan lebih dari itu, menundukkan kesadaran dan subjektivitas masyarakat, sehingga seolah membuat daya nalar dan kritis kita dibuat tertunduk olehnya. Faktanya, dalam waktu 24 jam, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di ruang maya, berselancar menelusuri ruang-ruang imajiner yang hakikatnya tidak memiliki makna sejati (original meaning), kecuali nilai fantasi tersebut. Itulah sebabnya, Jean Baudrillad (1929-2007) menyebut masyarakat yang terjebak dalam paradigma ini sebagai masyarakat hiperealitas. Yakni masyarakat yang lebih digerakkan oleh citraan-citraan teknologi daripada keaslian realitas. Risiko terburuk dari semua ini adalah mengaburnya makna, antara yang artifisial dan faktual, atara realitas dan citraan, dan sungguhan dan rekaan.
Namun demikian, sekalipun ruang maya tersebut menawarkan sekian rekaan realitas yang fantasi, pada kenyataannya telah membuat penggunanya hilang kesadaran. Di sini, kita bisa melihat bagaimana seorang pengguna media sosial, baik yang pasif ataupun yang aktif, secara mudah meleburkan diri mereka ke dalam ruang-ruang maya, bahkan pada yang paling personal menyangkut data diri sekalipun.
Sebagai varian realitas yang lahir dari rahim era modernitas, karena itu mustahil kiranya menghentikan produk teknologi berserta segala risikonya. Risk society adalah wujud kebudayaan kontemporer yang akan senantiasa berkembang dalam berbagai modus dan wujud. Ini akan terus bergulir seiring kian mempesatnya perkembangan teknologi dan media informasi digital. Langkah strategis yang dapat diupayakan saat ini adalah melalui penguatan regulasi. Yakni bagaimana sistem pengelolaan data ke depannya dapat berjalan transparan. Menerapkan sebuah kebijakan antimonopoli, serta melakukan sistem pengawasan dan kontrol secara ketat melalui peran dan fungsi pemerintah. Melalui penguatan regulasi tersebut, besar harapan pemanfaatan daya guna teknologi ke depan akan dapat berjalan lebih baik dan benar. Sehingga dapat meminimalisir, atau bahkan menekan segala macam praktik penyalahgunaan.
Penulis: Abd Hannan, Mahasiswa Doktor Ilmu Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga.
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.
