OPINI,KORAN TIMES-Gejolak yang terjadi di Pati menjadi cermin telanjang bagaimana arogansi kekuasaan dan kebijakan yang tidak pro-rakyat dapat memicu perlawanan masif. Demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh kebijakan perpajakan bukan sekadar protes lokal, melainkan manifestasi dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan yang semakin jauh dari aspirasi publik.

Di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran, kita menyaksikan bagaimana mesin perpajakan digerakkan dengan agresif untuk mengejar setiap celah pendapatan rakyat. Dari aktivitas sehari-hari hingga kebutuhan dasar, semua tak luput dari jangkauan pajak. Kebijakan ini mencerminkan ketidakpekaan pemerintah terhadap beban ekonomi yang sudah mencekik masyarakat.

Yang lebih memprihatinkan, arogansi kekuasaan terlihat dari sikap para pejabat yang seolah hidup di menara gading. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak berempati dan kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat kecil. Program-program ambisius dijalankan dengan pendekatan top-down tanpa melibatkan pemerintah daerah, menciptakan ketimpangan dan kekacauan dalam implementasi.

Presiden sendiri tampak lebih tertarik dengan panggung internasional dan pencitraan, sementara para menterinya sibuk berlomba menjilat dengan narasi-narasi yang jauh dari realitas. Statistik dimanipulasi, sejarah hendak dibelokkan, dan janji-janji kosong terus dilontarkan demi menyenangkan penguasa.

Fenomena Pati bukan sekadar protes daerah, melainkan potret mini dari keresahan nasional yang bisa menjadi pemantik gerakan sosial yang lebih besar. Ini adalah peringatan keras bagi pemerintah bahwa arogansi kekuasaan dan kebijakan yang menzalimi rakyat bisa berujung pada perlawanan masif.

Pemerintah harus segera melakukan introspeksi dan mengubah pendekatan governansi yang lebih berpihak pada rakyat. Jika tidak, gelombang protes Pati bisa menjadi katalis perubahan yang lebih besar, mengingatkan kita pada pepatah lama bahwa kekuasaan yang mengabaikan suara rakyat akan tumbang oleh kekuatan rakyat itu sendiri.

READ  Negara Harus Hadir Melindungi yang Lemah dari Jeratan Mafia Tanah

Pilihan ada di tangan penguasa: mendengarkan aspirasi rakyat dan mengubah kebijakan yang tidak populis, atau bersiap menghadapi konsekuensi dari arogansi kekuasaan yang telah mereka tunjukkan. Pati mungkin hanya awal, tapi bisa menjadi titik balik yang menentukan arah perjalanan demokrasi kita ke depan.

Lebih jauh lagi, kita perlu mencermati pola sistematis yang terjadi dalam pengelolaan kebijakan publik. Pemerintahan saat ini menunjukkan kecenderungan mengabaikan prinsip-prinsip dasar good governance, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Keputusan-keputusan strategis seringkali diambil tanpa konsultasi publik yang memadai, mencerminkan arogansi birokrasi yang semakin menguat.

Kasus Pati juga mengungkap paradoks dalam strategi pembangunan nasional. Di satu sisi, pemerintah mengklaim mengejar pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Namun di sisi lain, kebijakan yang diterapkan justru memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Pengenaan pajak yang agresif tanpa diimbangi peningkatan layanan publik dan infrastruktur sosial hanya akan memperparah kesenjangan ekonomi.

Yang perlu digarisbawahi, gelombang protes di Pati bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Ini merupakan bagian dari rangkaian ketidakpuasan publik yang telah terakumulasi sejak lama. Dari sektor pendidikan hingga kesehatan, dari pertanian hingga UMKM, kebijakan pemerintah seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan riil masyarakat.

Pemerintah tampaknya lupa bahwa legitimasi kekuasaan bukan hanya soal legalitas formal, tetapi juga tentang kepercayaan publik. Ketika kebijakan yang diambil semakin jauh dari aspirasi rakyat, maka erosi kepercayaan publik adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Fenomena Pati adalah warning sign yang tidak boleh diabaikan begitu saja.

READ  Aktivis FKKP Minta Pabrikan Setiap Pengambilan Sampel Tembakau Dihargai

Dalam konteks yang lebih luas, kita juga menyaksikan bagaimana media mainstream semakin kehilangan independensinya dalam mengawal demokrasi. Narasi-narasi kritik dibungkam, suara-suara alternatif diredam, dan ruang publik untuk diskusi terbuka semakin menyempit. Ini adalah tanda-tanda kemunduran demokrasi yang seharusnya menjadi keprihatinan bersama.

Solusi untuk krisis ini tidak bisa ditunda lagi. Pemerintah harus segera melakukan reformasi mendasar dalam pendekatan governansi. Pertama, kebijakan perpajakan harus direvisi dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan kemampuan ekonomi masyarakat. Kedua, proses pengambilan kebijakan harus lebih inklusif dengan melibatkan partisipasi publik yang substansial. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan melalui mekanisme pengawasan yang efektif.

Momentum Pati harus menjadi titik balik untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar. Arogansi kekuasaan harus diakhiri, dan pemerintahan yang lebih responsif terhadap aspirasi rakyat harus segera diwujudkan. Jika tidak, gelombang protes yang lebih besar hanya tinggal menunggu waktu, dan dampaknya bisa jauh lebih serius dari apa yang kita saksikan di Pati.

Penulis: Darju Prasetya,Pemerhati Persoalan Sosial Politik dan Kebijakan Publik Alumnus UNS Surakarta.

Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.

Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com

Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.