SURABAYA,korantimes.com— Pemerintah Provinsi Jawa Timur tengah menjadi sorotan setelah terungkap adanya pengendapan dana daerah senilai Rp6,2 triliun pada tahun anggaran 2025.

Temuan ini menjadi sorotan akativis Jaringan Kawal Jawa Timur (Jaka Jatim) terkait keseriusan Pemprov dalam menjalankan program pembangunan daerah.

Aktivis antikorupsi dari Jaringan Kawal Jawa Timur (Jaka Jatim), Musfiq, menilai langkah Pemprov Jatim itu menunjukkan adanya ketidaktegasan dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

“Saya agak miris melihatnya. Pengendapan uang sebesar Rp6,2 triliun ini menunjukkan bahwa Pemprov tidak serius menjalankan APBD untuk membangun Jawa Timur dari semua sektor belanja daerah,” ujar Musfiq. Selasa (28/10/2025).

Musfiq mempertanyakan bentuk dana tersebut, apakah dalam bentuk giro atau deposito. Jika dana itu memang ditempatkan sebagai deposito, kata dia, perlu transparansi penuh karena penempatan dana deposito akan menimbulkan bunga dan bonus dari pihak perbankan.

“Yang jadi pertanyaan, bunga dan bonus itu masuk ke kas daerah atau justru ke kantong pribadi pejabat yang bertanggung jawab? Ini harus dibuka secara terang-benderang,” tegasnya.

Lebih lanjut, Musfiq mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk tidak tinggal diam dan segera menindaklanjuti rekomendasi Menteri Keuangan agar seluruh dana daerah yang disimpan dalam deposito atau giro wajib diaudit secara menyeluruh.

Proses eksekusi aset berlangsung aman dan tertib, disaksikan perwakilan Kantor Pertanahan, lurah setempat, dan Babinsa.

READ  Jangan Sampai Ketinggalan! Ini Tanggal dan Keringanan yang Bisa Didapat dari Pogram Pemutihan Kendaraan Jatim

“Jangan-jangan bunga dan bonusnya justru jadi bancakan para pejabat. Kami menduga, sejak awal ada rencana agar sebagian anggaran ini dijadikan bancakan,” katanya.

Menurutnya, praktik pengendapan dana semacam ini justru menghambat pembangunan dan perputaran ekonomi daerah, karena dana publik tidak segera dimanfaatkan untuk program prioritas masyarakat.

“Kami dari Jaka Jatim mendesak transparansi penggunaan dana Rp6,2 triliun ini. Publik berhak tahu dalam rangka apa uang itu ditangguhkan,” ujar Musfiq.

Ia juga menduga adanya keterlibatan sejumlah pejabat tinggi Pemprov dalam proses pengendapan dana tersebut, mulai dari Sekretaris Daerah, Kepala OPD, hingga BPKAD selaku pengelola keuangan daerah.

“Tidak mungkin pengendapan uang sebesar ini dilakukan tanpa koordinasi. Kepala daerah selaku pemegang kekuasaan APBD pasti tahu. Ini harus menjadi perhatian serius aparat penegak hukum,” tegasnya.

Musfiq menilai praktik deposito anggaran pemerintah daerah berpotensi membuka ruang korupsi terselubung. Ia pun berharap agar transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah benar-benar ditegakkan demi mencegah terjadinya penyimpangan.