OPINI,KORAN TIMES-Warga Kangean Sumenep terus berupaya melawan aktivitas ekstraksi tambang migas oleh PT Kangean Energy Indonesia (PT KEI) yang merupakan kontraktor kontrak kerja sama (K3S) migas. Setengah perusahaan itu, sahamnya (working interest) dimiliki Grup Bakrie melalui PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Mereka berkongsi dengan Japan Petroleum Exploration (Japex), dimana menguasai setengah porsi saham.
PT KEI akan melalukan ekspansi pertambangan di wilayah Kangean yang bekerja sama dengan PT Gelombang Seismik Indonesia (PT GSI) akan melakukan survei seismik 3 dimensi (3D) di sekitar perairan pulau Kangean Sumenep.
PT KEI sudah lebih dari 30 tahun melakukan eksplorasi tambang migas di Kangean dan akan melakukan perluasan wilayah bisnis tambangnya. Namun, masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat dari adanya pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya. Justru, mereka akan semakin terancam penghidupannya akibat dari buruknya tata kelola dan minimnya pertanggungjawaban negara.
Fakta tersebut adalah potret nyata dari konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan hak-hak dasar masyarakat lokal serta cerminan dilema pembangunan yang kompleks di negara berkembang seperti di Indonesia.
Di satu sisi pemerintah dan korporasi sering kali menarasikan atau memandang ekstraksi sumber daya alam sebagai motor penggerak ekonomi dan investasi jangka panjang dengan janji peningkatan pendapatan pusat hingga daerah.
Akan tetapi, di sisi lain masyarakat lokal sebagai entitas yang hidup berdampingan langsung dengan sumber daya alam tersebut merasakan dampak signifikan dari setiap praktek eksploitasi. Sehingga adanya penolakan yang meluas dan masif dari berbagai eleman mulai dari mahasiswa, pemuka agama hingga mayoritas warga Kangean, menunjukkan ketidakpercayaan dan kekawatiran bahwa aktivitas ekstraksi tidak akan mensejehterakan kehidupan mereka, melainkan justru merampas serta merusak alam yang menjadi tumpuan kehidupan sehari-hari.
Dalam lanskap data 2016-2021, bahwa mayoritas mata pencaharian penduduk Kangean adalah nelayan dan petani (Mihosen, 2022). Maka tidak heran jika kekhawatiran utama warga Kangean adalah ancaman terhadap alat pruduksi penghidupan mereka sekaligus rusaknya lingkungan hidup.
Aktivitas ekstraksi sudah dan akan berpotensi lebih parah merusak ekosistem laut, mengganggu populasi ikan, dan dampaknya akan menghilangkan mata pencaharian nelayan tradisional. Pasalnya, keberadaan korporasi pertambangan PT KEI tidak merubah nasib dan kesejehteraan warga Kangean, Sumenep atau Madura secara keselururahan.
Tingkat kesejehteraan Sumenap masih jauh di bawah dari daerah-daerah lainnya di Jawa Timur. Hakikatnya lebih dari sekedar kerugian materi, namun kerusakan lingkungan yang berarti hilangnya warisan alam yang tak ternilai bagi generasi mendatang. Dalam pandangan Keraf (2006) tentang pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development), esensi dari prinsip keberlanjutan ekologi adalah pembangunan harus meminimalisir kerusakan sumber daya serta menerapkan praktek ramah lingkungan untuk menciptakan kondisi yang baik dan optimal bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
Dalam artian terdapat aspek keadilan yang perlu diperhatikan secara serius baik intragenerasi maupun intergenerasi. Keadilan intragenerasi menuntut distribusi manfaat dan beban pembangunan yang adil di antara semua anggota masyarakat yang hidup saat ini.
Jika keuntungan dari ekstraksi migas hanya dinikmati oleh segelintir elite atau perusahaan, sementara masyarakat lokal menanggung polusi, kerusakan lingkungan, dan hilangnya mata pencarian, maka keadilan tersebut tidak tercapai.
Di sisi lain, keadilan intergenerasi menegaskan generasi saat ini memiliki tanggung jawab untuk tidak mengorbankan hak-hak generasi mendatang atas sumber daya alam yang sama. Eksploitasi migas yang tidak berkelanjutan adalah bentuk perampasan hak generasi mendatang atas lingkungan yang sehat dan sumber daya yang memadai.
Perjuangan warga Kangean merupakan upaya untuk menegakkan kedua keadilan di atas, menuntut agar pembangunan tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kelangsungan hidup mereka dan anak cucu kedepannya.
Jika dilihat dari pandangan Keraf (2006) lainnya bahwa adanya penolakan warga Kangean juga mengindikasikan kegagalan dalam penerapan prinsip demokrasi dalam pembangunan. Keraf menagaskan bahwa prinsip demokrasi dalam kebijakan pembangunan menuntut partisipasi sekaligus transparan dari masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak terhadap lingkungan dan keberlangsungan kehidupan mereka.
Jika proses koordinasi survie seismik dilakukan tanpa mengakomodir sepenuhnya aspirasi masyarakat Kangean, hal tersebutlah cerminan minimnya implementasi demokrasi substantif. Masyarakat berhap untuk didengar, diberikan infirmasi yang akurat dan lengkap, serta mempunyai kekuatan untuk memengaruhi keputusan yang berkaitan dengan lingkungan dan wilayah mereka.
Di titik inilah peran dan pertanggungjawaban negara harus hadir dan menjadi sangat krusial. Negara harus dituntut untuk melampaui sekedar pertumbuhan ekonomi tetapi fokus pada peningkatan kualitas hidup serta pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warganya.
Tuntutan tersebut mencakup dimensi sosial, ekomoni, budaya, politik hingga lingkungan yang kesemuanya harus dijamin oleh negara sebagai hak dasar warga. Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara eksplisit menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi untuk menjamin keutuhan lingkungan serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.
Negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk melindungi hak-hak dasar warga Kangean atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Menurut Lindbeck (2006) seperti yang dikutip oleh Alimuddin dkk, dalam konteks yang lebih sempit, negara yang makmur memiliki dua jenis pengeluaran pemerintah. Pertama, ada pengeluaran yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, seperti transfer dana dan jaminan pendapatan.
Kedua, terdapat subsidi atau kebijakan pemerintah yang mendukung layanan publik, termasuk perlindungan anak, pendidikan pra-sekolah, pendidikan umum, kesehatan, dan perlindungan bagi orang lanjut usia.
Dalam pengertian yang lebih luas, negara makmur juga mencakup pengaturan harga, seperti pengendalian sewa dan dukungan harga untuk bahan pertanian, kebijakan perumahan, regulasi lingkungan kerja, keamanan kerja, serta kebijakan lingkungan.
Penulis: Ach. Nurul Luthfi, Ketua Forum Silaturahmi Mahasiswa Keluarga Madura Yogyakarta (FSM KMY) dan Mahasiswa Magister Hukum UII
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.
