OPINI, KORAN TIMESSekretariat Negara Churchill Mining (bersama Planet Mining) mengajukan klaim ISDS terhadap Republik Indonesia terkait pencabutan/penolakan izin proyek tambang East Kutai Coal Project (EKCP). Kasus penting karena menyangkut isu prosedural pemberian izin dan bukti dokumen. Tribunal awal mengeluarkan putusan pada 6 Desember 2016 (award/decision terkait klaim pokok).

Kemudian tribunal menilai bahwa klaim bergantung pada satu set dokumen yang dipertentangkan dan pada Maret 2017 beberapa permintaan klaim dinyatakan inadmissible karena dokumen yang dipakai penggugat dinyatakan bermasalah/forged , tribunal memerintahkan penggugat menanggung biaya (putusan-putusan terkait publik).

Penggugat mengajukan permohonan pembatalan (annulment), tetapi Komite Pembatalan menolak permohonan dan pada 18 Maret 2019 pemerintah Indonesia dinyatakan menang dalam proses tersebut (annulment application dismissed). Dengan kata lain: proses inti dimulai sebelum 2017, award dikeluarkan 6 Des 2016, dan upaya pembatalan berakhir negatif bagi Churchill pada 18 Mar 2019.

Kenapa penting: Churchill memperlihatkan dua hal sekaligus (1) potensi klaim investasi dapat menjadi sangat besar dan menyeret proses panjang/mahal; dan (2) tribun sangat memperhatikan tata kelola pemberian izin dan keaslian bukti sehingga kelemahan administratif/kontrak membuka celah risiko.

Analisa Indonesia sudah punya kerangka kebijakan soal nilai ekonomi karbon dan target iklim (Perpres No.98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon). Pemerintah juga baru mengubah UU BUMN lewat Undang-Undang No.1/2025 yang menata ulang pengelolaan BUMN tetapi ketentuan itu belum menjamin klausul kontrak BUMN aman dari gugatan investor internasional.

Dokumen riset yang saya pegang menunjukkan ada celah praktis besar antara niat kebijakan (ESG) dan teks kontrak yang dipakai BUMN sehari-hari. Bayangkan kontrak proyek besar seperti janji tertulis antara pemilik warung (negara/BUMN) dengan orang yang meminjam modal (investor). Kalau aturan buat menegakkan kepentingan publik (contoh: ambil tindakan demi iklim) hanya berupa kebijakan atau perpres yang “umum”, tapi tidak dimasukkan jelas di kontrak, ketika negara mengambil tindakan pro-lingkungan investor bisa menuntut ke arbitrase internasional.

Hasilnya bukan hanya kalah argument kadang negara harus bayar ganti rugi pakai uang pajak. Riset terlampir menunjukkan banyak kontrak BUMN masih mengandalkan norma audit/laporan, bukan mekanisme kontraktual yang mengikat dan aman.

Kalau negara kalah arbitrase, pajak dipakai bayar klaim biaya sekolah, kesehatan, atau perbaikan jalan bisa jadi berkurang. Sebaliknya, kalau kontrak disusun benar (ada klausul ESG yang jelas, prosedur notifikasi, dan mekanisme kompensasi administratif), proyek energi bersih bisa jalan lebih cepat, lapangan kerja aman, dan kualitas udara meningkat. Ini bukan hanya bahasa teknis: yang rugi atau untung akhirnya rakyat juga.

READ  Tekan Pengangguran Remaja Melalui Sekolah Rakyat Berbasis Vokasi

Di lapangan tim BUMN sering menghadapi: (1) dokumen kontrak standar yang berbeda antar unit; (2) tidak adanya “treaty-risk screening” sebelum tanda tangan; (3) auditor internal yang lapor, tapi tidak ada langkah hukum praktis ketika investor melanggar standar lingkungan; (4) tekanan waktu & politik membuat klausul yang kompleks diabaikan demi percepatan proyek. Contoh praktis: proyek pengembangan energi di daerah X terhenti karena investor menuntut atas perubahan syarat lingkungan padahal negara bertindak menurut Perpres, tetapi kontrak investor tidak punya mekanisme cure period/penyesuaian. Semua bukti kasus dan template audit ada di lampiran studi.

Bagi BUMN maka pastikan kontrak BUMN memuat klausul publik yang tegas: definisi tujuan publik (mis. pemenuhan NDC), prosedur notifikasi, jangka waktu perbaikan (cure period), dan panel auditor independen. Semua proyek besar harus melalui treaty-screening (cek apakah ada BIT/FTA yang berisiko) sebelum penandatanganan.BUMN wajib punya unit internal small-claims/administrative compensation supaya persoalan lingkungan diselesaikan administratif dulu, bukan langsung ke arbitrase.

Bahan teknis untuk tiap poin tersedia dalam ringkasan yang saya pegang. Aturan yang perlu disesuaikan
1. Peraturan Presiden No.98/2021 (Nilai Ekonomi Karbon) — masukkan ketentuan implementasi yang mewajibkan alignment kontrak proyek dengan mekanisme NEK: setiap kontrak BUMN bernilai besar harus menyertakan lampiran kesesuaian terhadap NEK dan mekanisme pelaporan yang mengikat.

2. Undang-Undang BUMN (UU No.1/2025) apabila suatu saat direvisi tambahkan atau pertegas pasal pelaksanaan yang mewajibkan “standard contract module” berisi klausul publik/ESG untuk semua kontrak penugasan dan kemitraan strategis; sertakan kewenangan Kementerian BUMN untuk memerintahkan treaty-screening sebelum persetujuan.

3. Peraturan Menteri BUMN / Surat Edaran Direksi BUMN — keluarkan template klausul ESG mandatory (lampiran kontrak) dan prosedur internal: unit treaty-screening, unit kompensasi administratif, dan auditor independen yang disetujui bersama Kemenkeu/OJK bila terkait pembiayaan. (Kementerian BUMN sudah punya peraturan tata Kelola cukup ditambah lampiran teknis.)

4. Kemenkum — karena sudah ada transformasi kelembagaan, Kemenkum wajib menerbitkan model klausul hukum (legal model clause) yang ditest-fit terhadap ketentuan BIT/FTA utama, lalu menjadi rujukan formal pendaftaran dokumen perdata BUMN. Koordinasi dengan Kemenlu penting untuk mengantisipasi implikasi internasional.

5. Perubahan kebijakan luar negeri / BIT-level — Kemenlu dan Kemenkum perlu menegosiasikan atau menerapkan model-treaty yang memasukkan public interest exceptions, legality clauses, atau carve-outs untuk langkah iklim sehingga klausul kontrak domestik tidak gampang dilawan lewat ISDS.

Studi internasional menunjukkan model-clause dan model-BIT bisa menurunkan risiko klaim.
Contoh klausul ESG dimaksud “Para pihak sepakat bahwa pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan untuk tujuan perlindungan lingkungan dan pencapaian target iklim akan diinformasikan secara tertulis kepada pihak lainnya; sebelum tindakan pengaturan yang berpotensi merugikan dilaksanakan, pihak yang terpengaruh diberikan kesempatan perbaikan selambat-lambatnya 60 hari dan audit independen; setiap sengketa yang timbul terkait tindakan publik ini akan diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme administratif yang diatur dalam lampiran, dan hanya jika mekanisme tersebut telah ditempuh dan gagal, barulah hak hukum selanjutnya dapat ditempuh.” (Rincian teknis lampiran: timeline, nama lembaga auditor, standard of review, mekanisme kompensasi administratif). (Model lengkap tersedia di lampiran studi saya).
Langkah pemerintah:

READ  Kiai, Ketua dan Pejuang Kita Berpulang

• Presiden / Kemenko: Perintahkan penerapan model klausul untuk proyek BUMN strategis.
• Kementerian BUMN: Terapkan template klausul dan buat unit treaty-screening.
• Kemenkum: Sahkan model klausul sebagai rujukan pendaftaran kontrak dan uji kecocokan dengan hukum internasional.
• Kemenlu: Bicarakan penyesuaian BIT/FTA agar clause publik tidak dibatalkan oleh arbitrase.
• Kemenkeu & OJK: Sinkronkan klausul dengan instrumen pembiayaan (sukuk hijau, pinjaman).

Penutup

Churchill (2016–2019) adalah contoh lokal-relevan: masalah dokumen, proses izin, dan teks kontrak/administrasi jadi kunci. Jika kontrak BUMN tidak memuat prosedur yang jelas saat negara bertindak demi kepentingan publik (mis. langkah iklim), pintu klaimmeski akhirnya gagal tetap terbuka dan mahal.

Kasus ECT (RWE/Uniper) dan Westmoreland/Zeph menunjukkan tren internasional: investor menggunakan traktat/ECT untuk menantang fase-out bahan bakar fosil atau penolakan izin lingkungan.

Ini memberi alasan kuat bagi BUMN/negara untuk menata klausul kontrak agar treaty-compatible dan memasukkan mekanisme administratif (cure period, audit independen) sebelum tindakan yang berpotensi menimbulkan ekspektasi investor diubah.

Kita tidak perlu memilih antara “melindungi lingkungan” dan “melindungi investor”. Caranya praktis: ubah teks kontrak bukan hanya retorika jadikan klausul ESG dan prosedur administratif bagian tetap kontrak BUMN, lalu sinkronkan itu dengan UU BUMN, Perpres NEK, dan model hukum yang dikeluarkan Kemenkum. Dengan begitu proyek hijau bisa jalan, risiko klaim turun, dan uang rakyat tetap dipakai untuk rakyat bukan untuk membayar arbitrase.

Penulis, Emmanuel Ariananto Waluyo Adi, Analis Hukum dan Duta Korpri Kementerian

Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.

Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com

Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.