OPINI,KORAN TIMES-Di usia kemerdekaan yang telah mencapai delapan dekade, bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa salah satu fondasi terkuat perjalanan bangsa adalah pajak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, tercatat lebih dari 82% pendapatan negara bersumber dari penerimaan pajak. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya pajak. Pajak bukan sekadar kewajiban administratif belaka, melainkan “nutrisi utama” yang menghidupkan “organ – organ” pembangunan nasional.

Pajak dalam Sudut Pandang Medis

Jika dianalogikan dengan dunia medis, pajak adalah gizi yang menjaga tubuh bangsa tetap sehat. Sama halnya dengan tubuh manusia yang membutuhkan protein, vitamin, dan mineral, negara membutuhkan penerimaan pajak agar pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga subsidi dapat berjalan. Tanpa asupan gizi fiskal yang memadai, tubuh bangsa akan mengalami “malnutrisi” yang mengakibatkan beragam penyakit seperti pembangunan tersendat, layanan publik melemah, dan daya saing menurun.

Dalam sudut pandang pemerintahan pajak memang menjadi nutrisi dasar. Namun dalam sudut pandang yang lebih luas dan menyeluruh sebagai sebuah faktor dalam sebuah negara, pajak juga bisa dianalogikan sebagai suplemen bagi pembangunan, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam dunia kedokteran, suplemen berfungsi untuk menutup kekurangan gizi dan mempercepat pemulihan dan peningkatan kekuatan tubuh. Demikian pula pajak, ia bertugas mempercepat akselerasi pembangunan dan memperluas manfaat kesejahteraan.

Pajak bukan hanya membiayai gedung atau membeli alat kesehatan, tapi menjadi stimulus yang memicu percepatan layanan publik. Ketika pajak mengalir ke subsidi kesehatan, biaya perawatan menjadi lebih terjangkau sehingga lebih banyak pasien bisa mendapatkan akses layanan. Saat pajak mendukung program pendidikan dokter dan perawat, kualitas layanan meningkat, dan masyarakat lebih cepat merasakan manfaatnya. Dengan kata lain, pajak berfungsi sebagai “booster” yang mendorong pembangunan berjalan lebih cepat, lebih luas, dan lebih merata.

Coretax, Era Digital dan Gaya Hidup Sehat Berbangsa

Di sisi lain, generasi muda termasuk mahasiswa sudah sangat akrab dengan digitalisasi. Aktivitas olahraga dipantau dengan smartwatch, pola tidur dicatat aplikasi kesehatan, bahkan konsultasi dokter bisa dilakukan via telemedicine. Semua ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat mengarahkan kita pada gaya hidup sehat yang baru.

READ  Marketing 5.0: Peluang dan Tantangan bagi UMKM di Era Digital

Pajak seharusnya pun demikian, ia juga harus masuk ke ranah digital. Jika kesehatan fisik semakin mudah dijaga dengan aplikasi, maka kesehatan fiskal negara pun seharusnya bisa ditopang dengan platform digital yang mudah diakses, cepat, dan transparan.

Jawaban atas tantangan itu hadir dalam bentuk Coretax, aplikasi terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Coretax dirancang sebagai sistem digital terintegrasi yang menggantikan layanan lama mulai dari pendaftaran, perhitungan pelaporan hingga pembayaran pajak dalam satu – kesatuan aplikasi dalam genggaman.

Sebagaimana produk kesehatan yang baru diperkenalkan ke pasar, Coretax masih menghadapi tantangan. Hingga Juli 2025, jumlah wajib pajak yang sudah melakukan aktivasi akun baru mencapai 3,8 juta, dari total 86,7 juta wajib pajak terdaftar (data 2024). “Wajib pajak Orang Pribadi yang telah melakukan registrasi kode otorisasi/sertifikat digital baru 1,8 juta.” ungkap Direktur Pelayanan, Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas), Ibu Rosmauli.

Angka ini menunjukkan tingkat partisipasi yang masih relatif rendah. Situasinya mirip dengan pasien yang ragu datang ke dokter untuk pertama kali karena terasa merepotkan, banyak persyaratan, dan belum terbiasa dengan prosedur. Padahal setelah langkah awal terlewati, proses berikutnya jauh lebih sederhana karena mungkin hanya berupa konsultasi rutin dan mengambil obat gratis.

Demikian pula dengan Coretax, sekali wajib pajak melakukan aktivasi, tahap selanjutnya dalam menjalankan kewajiban perpajakan menjadi lebih mudah, ringan, dan transparan.

Dalam dunia kesehatan, Coretax bisa dianalogikan sebagai alat diagnostik canggih. Jika dulu pemeriksaan laboratorium dilakukan manual dan memakan waktu lama, kini ada teknologi digital yang bisa menganalisis hasil dalam hitungan menit. Demikian pula dengan Coretax: ia memangkas prosedur yang berbelit menjadi lebih sederhana dan efisien.

Selain itu fitur Coretax ibarat rekam medis elektronik bagi fiskal negara. Semua data pajak tersimpan rapi, terdigitalisasi, dan bisa dilacak riwayatnya. Transparansi ini penting bukan hanya untuk pemerintah, tapi juga bagi wajib pajak sendiri agar merasa aman, adil, dan setara di mata hukum.

Dalam kehidupan personal, gaya hidup sehat berarti olahraga rutin, asupan bergizi, dan kontrol kesehatan berkala. Sementara dalam kehidupan berbangsa, gaya hidup sehat berarti taat pajak, transparansi fiskal, dan partisipasi aktif warga negara.

READ  Strategi Peningkatan PNBP Sektor Perikanan Melalui Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Blockchain dan Blue Economy

Efisiensi aktivitas dalam Coretax bisa dianalogikan seperti clean food sebagai nutrisi yang lebih bersih, lebih sehat, tidak banyak menggunakan kertas, serta turut mengurangi polusi karena wajib pajak tidak perlu lagi bolak-balik ke kantor pajak.

Jika generasi muda terbiasa mengukur langkah harian dengan aplikasi fitness, mengapa wajib pajak tidak membiasakan diri juga “mengukur kontribusi” pada bangsa lewat Coretax? Pajak digital bisa menjadi bagian dari lifestyle modern: mudah, efisien, dan memberi kepuasan tersendiri karena kita tahu kontribusi kita langsung memperkuat negara.

Tantangan terbesar bukan pada teknologinya, melainkan pada perubahan perilaku. Sama seperti dokter yang menghadapi pasien enggan minum obat, DJP pun menghadapi wajib pajak yang masih ragu beralih ke Coretax.

Memang diperlukan waktu serta membutuh edukasi, literasi, dan contoh nyata bahwa sistem ini benar-benar memudahkan. Namun ada optimisme besar yang seharusnya bisa kita manfaatkan. Generasi muda yang tumbuh dalam budaya digital seharusnya memiliki peran penting yaitu menjadi pelopor kesadaran pajak.

Mereka terbiasa dengan telemedicine, aplikasi diet, smartwatch dan di saat yang sama seharusnya bisa menjadi duta bahwa pajak pun punya wajah digital yang keren. Lebih dari itu, generasi muda sangat menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas, sehingga mampu mendorong sistem pajak digital yang lebih jujur, transparan, dan dipercaya masyarakat. Dengan cara ini, pajak dapat dipandang bukan sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari gaya hidup sehat berbangsa. Pajak Kuat, Keuangan Negara Sehat, Indonesia Jaya!

Penulis : I Nyoman Dharma Mukti Wisesa J. (Mahasiswa Kedokteran Umum, Universitas Mahasaraswati)

Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.

Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.

Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com

Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.