OPINI-KORAN TIMES-Sejak Kementerian Agama RI menetapkan KMA Nomor 244 Tahun 2025 tentang Program Prioritas Menteri Agama Tahun 2025- 2029, sebagai landasan pencapaian visi “Bersama Menuju Indonesia Emas 2045”, ekoteologi telah menjadi salah satu dari Delapan Program Prioritas yang mendapat perhatian khusus.
Menteri Agama menjelaskan bahwa ekoteologi adalah sebuah konsep interseksi antara teologi, filsafat, dan etika lingkungan, yang menelaah relasi antara ajaran agama dengan tanggung jawab manusia terhadap alam. Dalam konteks Islam, konsep khalifah (QS. Al-Baqarah: 30) menjadi fondasi teologis bagi pelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya Menteri Agama berharap nilai-nilai ini dapat diintegrasikan ke dalam Kurikulum Pendidikan Agama dan
menjadikan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari ibadah dan tanggung jawab
manusia.
Dalam konteks pendidikan keagamaan, khususnya di bawah naungan Kementerian Agama, pelestarian lingkungan dapat dikembangkan secara integratif melalui pendekatan ekoteologis. Berdasarkan data dari Education Management Information System (EMIS), terdapat 88.551 madrasah yang tersebar di berbagai desa di seluruh 34 provinsi di Indonesia.
Penyebaran institusi pendidikan tersebut mencerminkan keberadaan mereka di tengah keragaman ekosistem dan kekayaan sumber daya alam yang unik dan beragam, termasuk keanekaragaman hayati yang memiliki potensi besar dalam bidang obat dan pengobatan tradisional.
Potensi tersebut tidak hanya relevan dari sudut pandang ekologis, tetapi juga dari perspektif keilmuan dan budaya. Dengan demikian, konsep ekoteologi yang secara harfiah menggabungkan etika ekologi dan dimensi teologis dapat dipahami sebagai lebih dari sekadar upaya menjaga lingkungan hidup (hablum min al-‘alam).
Lebih jauh, ekoteologi mencakup komitmen terhadap pelestarian khazanah keilmuan tradisional, khususnya pengetahuan tentang tanaman obat dan praktik pengobatan turun-temurun yang telah menjadi bagian dari budaya lokal dan kearifan masyarakat sekitar madrasah. Melalui integrasi nilai-nilai keagamaan, lingkungan, dan pengetahuan tradisional, madrasah memiliki posisi strategis sebagai pusat pengembangan ekoteologi yang berkelanjutan, sekaligus sebagai agen transformasi sosial dalam membangun
kesadaran ekologis berbasis lokalitas dan spiritualitas.
Indonesia adalah negara megabiodeversity dengan keaneragaman hayati yang melimpah, sebanyak 40.000 spesies tanaman terdapat di Indonesia dan 7.500 spesies diantaranya dimanfaatkan sebagai tanaman obat (BPOM, Serat Centini, Buku Jampi dan Kitab Tibb, 2016).
Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bahwa sekitar 80% herbal dunia tumbuh di Indonesia, menjadikan negara ini sebagai salah satu gudang obat tradisional terbesar di dunia, selain India, China dan Korea (kompas, Negara Gudangya Herbal Dunia, 2010).
Pada tahun 2019, sejak covid melanda dunia, termasuk Indonesia, terdapat beberapa madrasah yang telah berinisiatif untuk melestarikan tanaman obat di lingkungan madrasah. Untuk menjaga daya tahan tubuh khususnya di masa Pandemi Covid-19, dewan guru MAN 1 Tabalong mengajak siswa untuk membudidayakan tanaman obat atau apotik hidup dengan memanfaatkan pekarangan madrasah.
MTsN 5 Barito Kuala (Batola) Kalimantan Selatan melalui pembina UKS, membuat taman tanaman obat keluarga (Toga) untuk menciptakan madrasah peduli kesehatan bagi warganya dengan memanfaatkan lahan samping kantor madrasah. MAN 1 Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan terus membenahi lingkungan madrasah dengan menanam berbagai jenis tanaman, baik itu tanaman hias maupun tanaman herbal sebagai apotik hidup madrasah.
MTsN Selat kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah memiliki aneka koleksi tanaman yang berkhasiat menyembuhkan penyakit. Kegiatan ini sekaligus sarana dan media pembelajaran peserta didik melalui keanekaragaman tanaman, baik yang berasal dari jenis lokal maupun jenis yang sudah dikenal di masyarakat seperti
Lengkuas, Jahe, Kunyit, dan Bayam. MI AL Hidayah kampung Legok Nyenan Bogor Jawa Barat mengikuti Program E-Coli (Etnobotani School IPB) pada tahun 2017.
Program pengabdian masyarakat yang dirancang oleh mahasiswa ITB dalam bentuk sekolah informal dengan menerapkan metode EPA (Edukasi,Praktik, dan Aplikatif) untuk memberikan pengetahuan dan tata cara memanfaatkan tanaman obat dengan baik dan menyenangkan mengenai jenis- jenis tanaman obat, fungsi, dan cara pemanfaatannya. Hal yang sama dilakukan oleh MIN 9 Jakarta dan MAN 22 Jakarta.
Sayangnya, pengetahuan ini terancam punah karena kurangnya dokumentasi dan transmisi pengetahuan ke generasi muda.
Kekayaan yang terancam punah seiring
dengan perubahan pola hidup masyarakat dan kurangnya upaya pelestarian yang sistematis. Menurut Yuli Widiyastuti, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional (PR BBOOT) Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan
Inovasi Nasional (BRIN), saat pemaparan tentang “Eksplorasi Sumber Pengetahuan dan Biodiversitas Tanaman Obat Indonesia untuk Pengembangan Jamu di Masa Depan”, dalam Webinar Hari Jamu Nasional, menjelaskan bahwa bahwa arah pengembangan jamu tertuang di Perpres 54 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu, dalam bentuk roadmap pengembangan jamu.
Latar belakang dari munculnya perpres tersebut mengingat kekayaan biodiversitas Indonesia dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap produk berbasis alam. Sehingga pengembangan jamu dan pemanfaatan jamu perlu dilaksanakan secara terkoordinasi, bersinergi. Selain itu adanya sinkronisasi dalam kebijakan, program, dan kegiatan K/L, Pemprov, Pemda kabupaten/kota yang sistematis, terarah, terukur, berkelanjutan Juga terintegrasi dari
hulu ke hilir, dengan melibatkan pemangku kepentingan yang sistematis.
Madrasah: Potensi Strategis Sebagai Pusat Pengembangan Ekoteologi
Madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis keagamaan, memiliki posisi strategis untuk mengintegrasikan konsep Ekoteologi dalam proses pembelajaran. Madrasah memiliki keunggulan dalam menggabungkan nilai-nilai keislaman dengan pelestarian lingkungan, sehingga menciptakan pendekatan holistik yang tidak hanya memperhatikan aspek teknis, tetapi juga aspek spiritual.
Ekoteologi tidak sekadar bermakna membangun kemesraan dengan alam, dengan tidak melukai perasaannya, atau menguasai dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan, dengan membumi hanguskan tanaman yang hidup bebas di hutan yang rindang atau tanah pekarangan yang subur nan elok untuk dijadikan hunian yang indah, gedung yang megah, atau pabrik dan resort-resort mewah.
Ekoteologi adalah membangun kemesraan dengan alam dengan melestarikan sumber
daya alam dan mengembangkannya untuk kesejahteraan bersama dengan adil serta
bijak. Sebuah bentuk nyata rasa cinta pada alam dan kehidupan, baik kepada diri sendiri, masyarakat, dan negara.
Keunggulan ini, diharapkan Menteri Agama menjadi modal pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan di masa depan. Fokus pada isu Lingkungan, Tolerasansi dan Nasionalisme. Integrasi konsep ekoteologi dalam lingkungan madrasah dapat diwujudkan melalui pengembangan kebun obat di lingkungan madrasah sebagai laboratorium terbuka.
Kebun obat yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber bahan ajar, tetapi juga sebagai ruang untuk menghidupkan kembali pengetahuan tradisional tentang tanaman obat yang semakin tergerus zaman.
Sebagai contoh, dalam Serat Centini dan Serat Primbon Jampi Jawi dijelaskan Madu dipercaya sebagai penawar berbagai penyakit dan banyak digunakan sebagai campuran obat tadisional, sejak jaman dahulu sampai sekarang.
Dalam pandangan Islam, khasiat madu dijelaskan dalam surat An Nahl ayat 69, yang artinya “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam- macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.
Dengan demikian, ekoteologi adalah moment dalam menanamkan kemesraan dan mencetak peneliti-peneliti muda serta calon dokter-dokter masa depan di seluruh penjuru nusantara dari rahim-rahim madrasah. Peneliti-peneliti muda yang bermoral, yang menjunjung tinggi objektivitas dan nilai-nilai kebenaran sejak dalam fikiran dan perbuatan, serta calon-calon dokter masa depan yang tidak hanya menguasai khazanah keilmuan pengobatan dan obat tradisional namun juga khazanah keilmuwan pengobatan dan obat kekinian.
Menghidupkan Kembali Khazanah Obat Tradisional dalam Konteks Modern
Pelestarian tanaman obat tradisional di madrasah bukan sekadar upaya konservasi, melainkan juga strategi untuk menghidupkan kembali khazanah keilmuan yang telah diwariskan leluhur kita.
Pendekatan pembelajaran berbasis lingkungan yang mengintegrasikan konsep
ekoteologi telah terbukti meningkatkan pemahaman konseptual peserta didik sekaligus mengembangkan kecintaan terhadap lingkungan (Chawla, 2020).
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa keterhubungan anak dengan alam merupakan faktor krusial dalam pembentukan perilaku peduli lingkungan dan kesejahteraan psikososial, yang tidak hanya ditentukan oleh pengalaman positif di alam, tetapi juga oleh respons emosional terhadap degradasi lingkungan, termasuk kekhawatiran dan kesedihan yang justru mencerminkan pemahaman relasional terhadap biosfer (unsur litosfer (batuan), hidrosfer (air), dan atmosfer (udara) Bumi).
Penelitian ini menunjukkan perlunya integrasi dua aliran pendekatan, yakni pendekatan positif yang menekankan kedekatan emosional dengan alam dan pendekatan reflektif yang mengakomodasi kecemasan ekologis dalam memahami dinamika keterhubungan ini. Maka, dengan menyediakan ruang bagi anak-anak untuk mengolah informasi lingkungan secara kritis dan emosional, serta memfasilitasi pembentukan harapan konstruktif melalui tindakan nyata, intervensi
pendidikan dan kebijakan dapat secara efektif memperkuat keterhubungan generasi muda dengan alam, yang pada akhirnya mendukung keberlanjutan ekologis jangka panjang.
Pada konteks modern, penggunaan obat tradisional sebagaimana Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 29 Tahun 2023 dijabarkan secara jelas dalam Bab II tentang Jenis Persyaratan Keamanan Dan Mutu Obat Bahan Alam. Oleh karenanya pengintegrasian konsep ekoteologi dalam kurikulum pendidikan menjadi penting dalam merealisasikan penggunaan obat tradisional dalam kehidupan kekinian.
Menurut Puguh Indrasetiawan, S.Farm., M.Sc., Ph.D., Apt. Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Tingginya minat masyarakat terhadap OT (obat tradisional) membuat pemerintah Republik Indonesia melakukan modernisasi OT dengan tetap menjaga identitas aslinya. Hal-hal seperti meningkatkan mutu bahan baku OT dan perbaikan proses produksi serta kontrol kualitas dilakukan agar OT mampu terus sejajar dengan OM (obat modern).
Langkah-langkah tersebut membutuhkan dukungan data dari penelitian ilmiah yang cukup termasuk sampai ke uji klinik, untuk mendokumentasikan efek dari OT. Kegiatan inilah yang diperlukan agar OT bisa diterima kalangan yang lebih luas terutama profesi medis dan yang lebih utama lagi, agar OT juga dapat dimasukkan ke dalam berbagai macam sistem kesehatan (kanal pengetahuan farmasi UGM, 2020).
Maka, tantangan-tantangan tersebut diatas menjadi PR besar bagi Kementerian
Agama dan madrasah dalam menerapkan kebun obat sebagai pusat pelestarian tanaman obat tradisional, sebagai wujud harmonisasi kehidupan dengan lingkungan melalui berbagai kebijakan dan kegiatan peningkatan mutu dan kualitas warga madrasah.
Dalam praktiknya, kedepan guru dapat menggunakan berbagai macam pendekatan, strategi dan metode pembelajaran yang dikaitkan dengan berbagai mata
ajar. KBM tidak hanya belajar mengenal dan menghafal jenis tumbuhan obat, tapi juga
memahami kandungan dan manfaatnya pada lab-lab madrasah melalui pengembangan proyek penelitian sederhana bagi peserta didik untuk mengeksplorasi manfaat tanaman
obat, seperti analisis kandungan kimia sederhana atau pengujian efektivitas ekstrak tanaman.
Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan pemahaman ilmiah, tetapi juga menghidupkan kembali pengetahuan tradisional yang berpotensi menjadi inovasi kesehatan masa depan serta kecintaan terhadap lingkungan.
Tantangan dan Strategi Implementasi
Meskipun memiliki potensi besar, implementasi program ekoteologi di madrasah menghadapi beberapa tantangan utama: pertama, kurangnya kapasitas guru. Banyak guru belum memiliki pengetahuan memadai tentang tanaman obat dan pengobatan tradisional serta konsep ekoteologi.
Kedua, keterbatasan sumber daya. Pengembangan kebun obat memerlukan ruang, biaya, dan sumber daya manusia yang tidak selalu tersedia. Ketiga, belum adanya kerangka kurikulum yang jelas. Integrasi konsep ekoteologi ke dalam kurikulum memerlukan panduan yang jelas dan terukur.
Keempat, minimnya kolaborasi dengan pemangku kepentingan. Maka, membangun kemitraan dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lembaga riset, serta Perpustakaan Nasional menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan strategi: pertama, program “Madrasah Hijau” nasional. Kementerian Agama perlu meluncurkan program nasional yang menyediakan panduan teknis, standar pengembangan kebun obat, dan sistem evaluasi yang terukur.
Program ini harus disertai dengan alokasi dana khusus untuk pengembangan kebun obat di madrasah. Kedua, pengembangan modul pembelajaran terintegrasi. Mengembangkan modul ekoteologi yang terintegrasi dalam kurikulum madrasah, dengan menentukan capaian pembelajaran spesifik yang terukur dan dapat dievaluasi.
Modul ini harus mencakup konten tentang tanaman obat lokal, metode pengolahan tradisional, dan integrasi dengan nilai-nilai keislaman. Ketiga, pelatihan guru berkelanjutan. Membangun kemitraan dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lembaga riset, serta perpustakaan nasional untuk menyediakan pelatihan guru dalam pengembangan dan pemanfaatan kebun obat. Ke-empat, pengayaan konten pembelajaran.
Mengembangkan media pembelajaran
interaktif seperti poster identifikasi tanaman, buku panduan saku, dan video edukasi tentang tanaman obat. Madrasah juga dapat mengadakan “Pekan Ekoteologi” atau “Festival Tanaman Obat” untuk meningkatkan partisipasi seluruh warga madrasah.
Kelima, integrasi nilai keislaman. Menghubungkan konsep ekoteologi dengan nilai-nilai keislaman melalui kajian ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang relevan dengan pelestarian lingkungan. Hal ini akan memperkuat motivasi spiritual dalam menjaga kelestarian alam.
Madrasah Sebagai Mercusuar Peradaban
Integrasi konsep ekoteologi dalam lingkungan pendidikan madrasah memiliki
potensi besar sebagai strategi efektif untuk melestarikan tanaman obat tradisional
sekaligus meningkatkan kesadaran lingkungan peserta didik. Program ini tidak hanya mendukung keberlanjutan lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada penguatan identitas budaya dan peningkatan literasi kesehatan.
Dengan pendekatan yang sistematis, melibatkan peningkatan kapasitas guru, pengembangan kurikulum yang terintegrasi, dan kolaborasi multidisiplin dengan berbagai pemangku kepentingan, madrasah dapat bertransformasi menjadi pusat pengembangan ekoteologi yang tidak hanya menjadi tempat belajar agama, tetapi juga menjadi taman ilmu, kebun kehidupan, dan laboratorium alam yang melahirkan generasi muda yang cinta alam, berwawasan budaya, dan memiliki integritas keilmuan.
Menanamkan cinta alam adalah pesan agama. Mencari ilmu adalah perintah agama. Mengawinkan keduanya untuk menjadi ruh madrasah adalah khittohnya. Bersama, kita wujudkan madrasah masa depan yang menjadi mercusuar peradaban, memberi arah dan makna dalam menghadapi dahsyatnya gelombang kemajuan zaman.
Bersama kita tunjukkan kepada masyarakat bahwa stigma madrasah bukan hanya
tempat belajar agama. Lembaga pendidikan yang hanya mencetak para dai atau ustadz
ustadzah. Lembaga pendidikan yang hanya pandai membaca dan mempelajari kitab
kitab, melainkan tempat yang juga tumbuh dan berkembang sebagai taman ilmu, kebun
kehidupan dan laboratorium alam, tempat lahirnya calon peneliti dan dokter-dokter yang jujur, bermoral, dan humanis yang memegang teguh nilai-nilai budaya dan agama.
Terakhir, sungguh semua ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa tiadalah sia-sia, hanya saja manusia enggan memikirkan dan mempelajarinya. “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran:190-
191). Wallahu a’lam bishawab.
Penulis: Johan Trio Santoso
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.
