OPINI-Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah sering dikaitkan dengan pembangunan daerah di Indonesia. Narasi tersebut telah lama bertahan dan mendukung gagasan bahwa kekayaan geologis dan biologis adalah kunci kemajuan sebuah daerah. Namun, pada faktanya sering menunjukkan sebuah paradoks dimana daerah dengan banyak SDA tidak selalu mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang sebanding.
Kekayaan alam yang melimpah dapat menjadi bumerang, menghambat diversifikasi ekonomi, korupsi, dan bahkan konflik, fenomena di atas disebut resource curse atau kutukan sumber daya. Sebaliknya, banyak daerah yang minim atau terbatas SDA-nya justru berhasil membuktikan diri, berkembang pesat dengan mengandalkan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan industri kreatif sebagai motor penggerak utama pembangunan.
Fenomena tersebut membuka ruang bagi pergeseran paradigma pembangunan, menawarkan model baru yang berfokus pada penguatan SDM dan inovasi sebagai alternatif pembangunan yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
Ketika berbicara tentang pembangunan, perspektif konvensional sering kali terlena dalam jebakan ekstraktivisme, yang berarti bergantung pada eksploitasi dan ekspor bahan mentah. Selain tidak menghasilkan nilai tambah yang signifikan di dalam negeri, model ini sering mengabaikan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Daerah-daerah yang terlalu bergantung pada sektor ekstraktif cenderung memiliki struktur ekonomi yang sempit, pasar kerja yang terbatas, serta lebih rentan terhadap gangguan ekonomi dari luar. Ironisnya, ketergantungan pada SDA dapat menyebabkan stagnasi ekonomi dan kesenjangan sosial yang signifikan daripada meningkatkan kemakmuran.
Menurut Zubikova (2017) orientasi ekspor terhadap sumber daya alam biasanya muncul setelah penemuan sumber daya baru atau kenaikan harga yang tidak terduga. Oleh karenanya, sumber daya alam biasanya berdampak positif pada ekonomi dalam jangka pendek. Hal ini mengurangi pengangguran dan mendorong pertumbuhan ekonomi, namun, tidak akan berhasil dalam jangka panjang sehingga ekonomi lainnya kurang kompetitif karena tergantung pada pertambangan. Selain itu, dapat menyebabkan diversifikasi ekonomi yang tidak memadai dan peningkatan disparitas dalam distribusi kekayaan antara berbagai kelompok populasi.
Dalam pandangan Dwumfour dan Ntow-gyam (2018) dan Asif et al. (2020) dalam penelitian greenpeace, bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara dengan sumber daya alam yang melimpah cenderung lebih lambat.
Beberapa faktor yang menyebabkan kutukan sumber daya alam adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor tambang yang dominan dibandingkan dengan sektor non-tambang; korupsi pemerintahan; integritas kepala daerah; izin usaha; dan kurangnya dana untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja ekonomi. Oligarki tambang, integritas birokrasi pemerintahan, dan tingkat korupsi dalam berbentuk suap dan gratifikasi adalah faktor lain yang berpengaruh secara tidak langsung.
Sebagai contoh kongkrit di berbagai daerah di Indonesia misalnya Aceh, sebagai provinsi kaya SDA seperti minyak dan gas, masih menghadapi tantangan kemiskinan yang tinggi, mencapai 16,89% pada 2022. Peningkatan angka tersebut menunjukkan kekayaan SDA tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, dimana bisa dipicu oleh korupsi, pengelolaan buruk, dan ketimpangan regional.
Di Papua, meskipun kaya akan mineral seperti emas dan tembaga, tingkat kemiskinan tetap di atas 27%, terutama di daerah pegunungan yang sulit diakses. Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pengelolaan SDA yang tidak partisipatif menjadi faktor utama rendahnya kesejahteraan masyarakat adat.
Sementara itu, Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, yang merupakan penghasil batu bara terbesar, mengalami fenomena resource curse dengan ketergantungan tinggi pada sektor tambang. Meskipun pendapatan SDA sangat besar, kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan tidak sebanding, disebabkan oleh korupsi, rendahnya kapasitas pemerintah daerah, dan kurangnya investasi dalam pengembangan sumber daya manusia.
Ketiga daerah ini menunjukkan bahwa kekayaan SDA tidak menjamin kesejahteraan tanpa pengelolaan yang baik. Namun, di tengah ketidakmampuan daerah-daerah tersebut, beberapa daerah di Indonesia justru berhasil dalam mengambangkan potensi-potensi yang dimiliki, dan membuktikan kreativitas serta inovasi adalah kunci pembangunan.
Daerah seperti Ubud di Bali, Bandung, dan Pekalongan berhasil membangun ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan tanpa bergantung pada eksploitasi SDA secara masif.
Ubud, Bali, merupakan contoh bagaimana pariwisata yang didasarkan pada seni dan budaya dapat menghasilkan keuntungan yang besar bagi ekonomi. Ubud mengutamakan pariwisata yang ramah lingkungan dengan menonjolkan kekayaan tradisi, seni lukis, tari, dan kerajinan tangan lokal, daripada bergantung pada pertambangan atau perkebunan.
Selain meningkatkan pendapatan lokal, model ini menciptakan ribuan lapangan kerja, menjaga warisan budaya, dan mempromosikan Indonesia di mata dunia. Nilai-nilai intangible (tidak berwujud) yang dimiliki oleh SDM dan budayanya dapat digabungkan dan dipromosikan hingga ke manca negara.
Bandung, Jawa Barat, juga dikenal sebagai Paris Van Java, telah lama dianggap sebagai pusat industri kreatif, fashion, musik, dan olahan makanan adalah sasaran utamanya. Dengan menarik desainer muda, musisi berbakat, dan chef inovatif, kota ini telah menjadi pusat inovasi yang dinamis.
Ratusan ribu orang bekerja di industri kreatif Bandung, dan mereka meningkatkan ekonomi kota dengan mengekspor barang-barang inovatif dan daya tarik wisata. Kesuksesan Bandung menunjukkan bahwa kemampuan kreatif dan intelektual dapat menjadi sumber daya yang tak terbatas, jauh melampaui keterbatasan SDA fisik.
Daerah Pekalongan Jawa Tengah dengan industri batiknya yang terkenal juga menarik dan perlu jadi percontohan.
Pekalongan adalah pelopor dari prosesnya inovasi yang terus-menerus melalui pengrajin batik dengan tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi mereka juga terus berinovasi dalam desain, pewarnaan, dan efisiensi produksi. Inovasi tersebut telah meningkatkan efisiensi dan profitabilitas produk lokal hingga lima puluh persen, menunjukkan bahwa inovasi dan peningkatan kualitas SDM bahkan dalam industri konvensional dapat memiliki dampak ekonomi yang signifikan.
Paradigma di atas didukung oleh teori pembangunan modern, sebuah pemikiran pembangunan berbasis modal manusia, atau teori modal manusia atau human capital theory, menekankan bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan sangat penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan inovasi.
Konsep ekonomi kreatif yang mengutamakan kreativitas, budaya, dan pengetahuan sebagai modal menjadi relevan untuk daerah yang memiliki SDA yang rendah. Ekonomi kreatif tidak hanya menghasilkan nilai tambah ekonomi tetapi juga mendukung keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Seharusnya pemerintah melakukan banyak hal untuk mendukung industri kreatif, seperti membangun institusi pendidikan kreatif, memperkuat tenaga kerja kreatif, dan memberikan insentif untuk usaha kreatif.
Beralih dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi kreatif dan berinovasi adalah strategi penting untuk pembangunan daerah hingga nasional. Bukan hanya sekedar mengganti sektor unggulan tetapi lebih tentang memperkuat dasar pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Paradigma baru yang melihat SDM sebagai aset yang lebih penting daripada sumber daya alam yang terbatas. Model ini juga dapat mengubah potensi budaya, sistem pendidikan, dan lingkungan bisnis kreatif menjadi kekuatan ekonomi di wilayah yang selama ini dianggap kekurangan sumber daya. Sehingga, pembangunan daerah yang berfokus pada industri kreatif dan sumber daya manusia merupakan kebutuhan mendesak dan tidak hanya alternatif untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh digitalisasi ekonomi dan era globalisasi.
Penulis: Ach. Nurul Luthfi, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.
