YOGYAKARTA – Kontestasi politik 2024 semakin memanas setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan uji materi nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. (16/10).
Putusan MK dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu, terkait batas usia capres dan cawapres dinilai menciderai demokrasi dan konstitusi.
Putusan MK tersebut dipandang sangat politis dan mengganggu aktivitas demokrasi yang tidak boleh diskriminatif.
Terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 bahwa, setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Ketua Umum Relawan Tarétan Mahfud atau TARÉMAH, Jugil Adiningrat, mengecam dan menolak keras keputusan tersebut lantaran dinilai ada peluang nepotisme dalam demokrasi yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan ada upaya melanggengkan politik dinasti.
“MK membuka peluang politik dinasti. Kita juga bisa kaitkan dengan posisi Ketua MK yang sebenarnya memiliki benturan kepentingan yang luar biasa terhadap orang yang mengambil keuntungan langsung. Disamping itu, keputusan MK kemarin sangat bertentangan dengan UUD 1945,” jelas Jugil Adiningrat, pada Selasa, (24/10).
Jugil Adiningrat juga menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut memicu nepotisme demokrasi dan cenderung ada upaya untuk melanggengkan politik dinasti, sehingga konstitusi terkesan dipermainkan.
“Dalam putusan MK terlihat sangat kentara, bahwa ada potensi nepotisme dalam demokrasi saat ini, dan cenderung ada upaya untuk melanggengkan politik dinasti, sehingga konstitusi terkesan dipermainkan.” Tambah Jugil Adiningrat, yang sekaligus merangkap sebagai Ketua Keluarga Madura Yogyakarta.
Pewarta: Hamidi
Editor: Akhmad