KORAN TIMES,Kelompok pemerhati lingkungan hidup mengajukan protes secara resmi kepada Bank Dunia karena terus memberikan dukungan keuangan untuk pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia.
Pihaknya, menilai Bank Dunia tersebut dianggap melanggar janji sejumlah pemimpin negara untuk berhenti mendukung penggunaan bahan bakar fosil.
Selain itu, anak perusahaan Bank Dunia di sektor swasta, International Financial Corporation (IFC), merupakan pendukung tidak langsung kompleks PLTU Suralaya di Banten melalui investasi ekuitasnya di Hana Bank Indonesia. Perusahaan tersebut merupakan salah satu penyandang dana proyek itu, kata koalisi kelompok lingkungan hidup.
IFC tercatat terlibat melalui investasi ekuitas sebesar USD15,36 juta yang diberikan kepada kliennya sekaligus salah satu penyandang dana proyek PLTU Jawa 9 dan 10, Hana Bank Indonesia. Dalam aduannya, gabungan organisasi masyarakat tersebut menuntut agar pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 segera dihentikan serta memberikan kompensasi yang adil dan penuh atas kerugian yang telah diderita masyarakat sekitar PLTU.
Total kapasitas proyek PLTU Jawa 9 dan 10 mencapai 2.000 MW atau hampir 50% dari total kapasitas eksisting kompleks PLTU Suralaya unit 1-8. Ekspansi pembangunan PLTU baru ini akan menambah ancaman kesehatan yang telah dirasakan masyarakat, seperti masalah pernapasan (ISPA) akibat polusi udara dari debu batu bara dan limbah beracun.
Selain itu, proyek PLTU baru ini diperkirakan akan menyebabkan ribuan kematian dini dan akan melepaskan sekitar 250 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer selama 30 tahun masa operasi.
Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri mengatakan, sama sekali tidak ada urgensi untuk terus membangun PLTU Jawa 9 dan 10. Kebutuhan listrik di daerah tersebut sudah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan. Ekspansi ini, ,menurutnya hanya akan menghancurkan masyarakat setempat dan membawa dunia semakin dekat pada bencana iklim, di mana Indonesia dan warganya sangat rentan.
“Hal ini juga berlawanan dengan upaya untuk mencapai target net zero emission dan gagalnya target Perjanjian Paris,” ujar Novita, dalam keterangan resminya, Rabu (13/9/2023).
Selanjutnya, ia menyatakan pembangunan PLTU baru ini tak diperlukan, karena pasokan listrik sudah melebihi permintaan, pengaduan tersebut juga menguraikan bahwa PLTU Jawa 9 dan 10 akan memperparah iklim, kesehatan, dan lingkungan yang sudah buruk di Banten. Bertani dan melaut pun menjadi semakin sulit dilakukan, selain itu banyak keluarga digusur secara paksa tanpa kompensasi yang memadai hanya untuk memuluskan pembangunan proyek tersebut.
Penghancuran pantai yang tersisa di Suralaya juga berdampak signifikan pada sektor pariwisata dan bisnis lokal. Peningkatan emisi karbon dioksida juga sangat memprihatinkan karena Indonesia rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrem.
“Entah untuk siapa PLTU Jawa 9 dan 10 ini dibangun karena masyarakat Suralaya tidak merasakan manfaat yang menguntungkan. Justru sebaliknya, PLTU baru ini akan makin memperparah kerusakan lingkungan yang sudah terjadi dan meningkatkan penyakit ISPA. Iming-iming proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat hanya omong kosong belaka,” kata Mad Haer Effendi, Direktur Pena Masyarakat.
Pengaduan kepada CAO menggarisbawahi bahwa IFC gagal mengawasi kliennya, Hana Bank Indonesia, karena masih terlibat di proyek PLTU batu bara Jawa 9 dan 10 yang tidak sejalan dengan kebijakan sosial dan lingkungannya. Meskipun IFC memiliki program Pendekatan Ekuitas Hijau (Green Equity Approach) yang mewajibkan klien perantara keuangan, termasuk Hana Bank, untuk meningkatkan pinjaman untuk proyek yang mengatasi perubahan iklim, proyek yang menghilangkan paparan batu bara atau mengurangi paparannya hingga mendekati nol pada 2030, IFC masih mendanai proyek baru berbasis batu bara.
“Mendorong ekspansi batu bara bertentangan dengan misi IFC. Proyek Jawa 9 dan 10 sangat tidak sejalan dengan standar lingkungan dan sosial Bank Dunia. Tanggung jawab IFC saat ini adalah menghentikan terjadinya kerusakan lebih lanjut dari proyek ini dan membantu memperbaiki kerusakan yang telah terjadi,” jelas Senior Legal dan Policy Associate Inclusive Development International Sarah Jaffe.
Meski IFC telah menutup celah pendanaan proyek batu bara dalam Green Equity Approach dan memperbarui komitmennya dengan ‘tak ada proyek batu bara baru’, nyatanya masih memungkinkan Hana Bank Indonesia untuk mendanai proyek PLTU di Pulau Jawa 9 dan 10.
Begitu pula dengan klien IFC dan perantara keuangan lainnya yang masih dapat berinvestasi pada pembangkit listrik tenaga batu bara termasuk batu bara captive dan menjamin obligasi untuk pengembang batu bara. Lebih jauh lagi, meskipun IFC telah menyatakan bahwa pendekatan ini berlaku untuk semua klien ekuitas yang ada, masih belum jelas apa dan bagaimana pendekatan ini diterapkan.
“Dukungan terhadap PLTU Jawa 9 dan 10 sangat bertentangan dengan misi Bank Dunia – PLTU tersebut akan memperburuk, bukan mengurangi, dampak kemiskinan dan perubahan iklim. Kegagalan IFC untuk mencegah kliennya mendanai dua PLTU baru yang masif di tengah keadaan darurat iklim global ini melemahkan komitmennya terhadap Perjanjian Paris tentang perubahan iklim,” ujar Kate Geary, Co-director Recourse.
Proyek-proyek tersebut membuat Grup Bank Dunia berseberangan dengan Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership) Indonesia, sebuah inisiatif senilai USD20 miliar yang didanai oleh koalisi negara-negara maju dan para pemberi pinjaman global untuk membantu Indonesia mempercepat peralihan dari batu bara ke sumber energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Para pengadu berpendapat bahwa ekspansi PLTU Jawa 9 & 10 seharusnya tidak perlu dilakukan dan harus segera dihentikan. Jika penghentian proyek tidak memungkinkan, maka IFC dituntut untuk memastikan proyek tersebut ditingkatkan dan dimodifikasi agar dapat mengurangi kerugian sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangunan tersebut, dan sedapat mungkin mendekati kepatuhan.
Para pelapor menuntut ganti rugi penuh dan adil atas kerugian yang telah diderita masyarakat setempat serta mengakhiri pembiayaan Hana Bank Indonesia ke proyek-proyek batu bara. IFC juga dituntut untuk melakukan perubahan kebijakan sistemik untuk menghapuskan semua dukungan tidak langsung terhadap proyek-proyek batu bara.
Pewrta:Syafi’i
Editor :Hasbullah