OPINI-KORAN TIMES-Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki keunggulan maritim yang jarang dimiliki negara lain. Potensi lestari sumber daya ikan kita mencapai lebih dari 12 juta ton per tahun, dengan sebaran di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Jika dikelola dengan tepat, sektor ini bukan saja mampu menopang kedaulatan pangan, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi nasional serta penyumbang devisa yang signifikan.
Sayangnya, kontribusi sektor perikanan terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih jauh dari optimal. Kebocoran akibat praktik illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF), lemahnya sistem perizinan, hingga rendahnya nilai tambah produk perikanan menjadi hambatan klasik yang belum sepenuhnya teratasi.
Dalam konteks inilah, kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang dicanangkan pemerintah menjadi langkah strategis. Namun, sebagai akademisi di bidang maritime informatics, saya meyakini bahwa keberhasilan PIT sangat bergantung pada pemanfaatan paradigma blue economy dan dukungan teknologi mutakhir, termasuk blockchain.
Penangkapan Ikan Terukur dalam Bingkai Blue Economy
PIT pada dasarnya merupakan penerapan catch quota system yang menyesuaikan tingkat penangkapan dengan daya dukung ekosistem. Pemerintah menetapkan kuota tangkap di setiap WPP untuk mengendalikan eksploitasi dan sekaligus mengoptimalkan distribusi manfaat ekonomi melalui skema izin dan pungutan hasil perikanan.
Paradigma blue economy kemudian menjadi fondasi konseptual yang tak bisa diabaikan. Blue economy bukan sekadar jargon, melainkan pendekatan sistemik yang mengintegrasikan keberlanjutan ekologi, efisiensi pemanfaatan, inklusivitas sosial, dan inovasi teknologi. Dengan paradigma ini, kebijakan PIT tidak berhenti pada peningkatan kas negara, tetapi juga melindungi sumber daya laut, menyejahterakan nelayan, serta menciptakan peluang investasi yang ramah lingkungan.
Strategi Inovatif Peningkatan PNBP Melalui PIT
Agar kebijakan PIT benar-benar mampu meningkatkan PNBP sekaligus menjaga keberlanjutan ekosistem, saya menawarkan beberapa strategi inovatif berbasis pendekatan akademik dan teknologi:
1. Kuota Berbasis Sains
Penetapan kuota tangkap tidak boleh spekulatif. Ia harus berbasis riset stok ikan yang dilakukan secara periodik dengan dukungan teknologi akustik modern, remote sensing, hingga big data analytics. Tanpa landasan ilmiah, kebijakan kuota akan kehilangan legitimasi dan rawan dipolitisasi.
2. Digitalisasi Tata Kelola
Era digital menuntut sistem perikanan yang transparan. Penerapan e-logbook, Vessel Monitoring System (VMS), dan integrasi data izin dalam satu national fisheries big data platform mutlak diperlukan. Dengan digitalisasi, kebocoran PNBP dapat ditekan drastis, dan pemerintah memiliki kendali penuh atas rantai nilai perikanan tangkap.
3. Insentif untuk Keberlanjutan
PNBP seharusnya tidak sekadar menjadi alat pungutan, melainkan instrumen untuk mendorong keberlanjutan. Kapal yang menggunakan energi ramah lingkungan, menerapkan alat tangkap selektif, atau berkontribusi pada restorasi ekosistem laut layak memperoleh insentif fiskal maupun non-fiskal. Sementara itu, pelaku usaha yang melanggar aturan wajib menerima disinsentif tegas.
4. Peran Sentral Nelayan Tradisional
Tidak boleh dilupakan bahwa nelayan tradisional adalah tulang punggung perikanan Indonesia. Mereka harus mendapat alokasi kuota khusus, akses pada teknologi sederhana, serta dukungan infrastruktur seperti dermaga, cold storage, dan koperasi modern. Sebagian PNBP idealnya dikembalikan untuk program pemberdayaan masyarakat pesisir, agar kebijakan PIT tidak sekadar pro-industri besar.
5. Diplomasi Perikanan Global
Sebagai negara dengan kekayaan ikan yang melimpah, Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat di forum internasional. Kebijakan PIT berbasis blue economy dapat dijadikan alat diplomasi dalam membuka akses pasar premium, memperluas kerja sama perdagangan, dan menarik investasi berkelanjutan. Diplomasi semacam ini akan memperkuat PNBP, tidak hanya dari pungutan tangkap, tetapi juga dari ekspor bernilai tambah tinggi.
Urgensi Teknologi Blockchain dalam Rantai Pasok Perikanan
Dalam kerangka maritime informatics, saya melihat blockchain sebagai teknologi disruptif yang dapat merevolusi rantai pasok perikanan Indonesia. Mengapa blockchain penting?
1. Transparansi dan Traceability
Blockchain memungkinkan setiap ikan yang ditangkap dicatat dalam sistem digital yang terdesentralisasi dan tidak dapat diubah. Mulai dari lokasi tangkap, metode tangkap, hingga distribusi ke pasar, semuanya bisa dilacak secara real-time. Hal ini menjawab tuntutan pasar internasional yang kini mengutamakan traceability sebagai syarat masuk.
2. Pencegahan Illegal Fishing
Dengan blockchain, ikan hasil tangkapan ilegal akan mudah terdeteksi karena tidak tercatat dalam sistem. Integrasi blockchain dengan VMS dan e-logbook akan membentuk mekanisme pengawasan otomatis yang lebih efektif daripada sekadar patroli konvensional.
3. Efisiensi Perizinan dan PNBP
Blockchain dapat diintegrasikan dengan sistem perizinan dan pungutan hasil perikanan. Artinya, setiap transaksi PNBP tercatat otomatis, transparan, dan dapat diaudit secara digital. Ini akan menutup celah kebocoran sekaligus mempercepat birokrasi.
4. Akses Pasar Global
Produk perikanan Indonesia kerap menghadapi hambatan non-tarif karena isu keberlanjutan. Dengan blockchain, produk kita akan memiliki digital certificate of origin yang kredibel, meningkatkan reputasi di pasar global, serta memberikan peluang harga jual lebih tinggi.
5. Inklusi Nelayan Kecil
Melalui aplikasi sederhana, nelayan tradisional dapat mencatat hasil tangkapannya langsung ke sistem blockchain. Dengan begitu, produk mereka memiliki nilai tambah, karena konsumen dapat memastikan bahwa ikan tersebut berasal dari praktik penangkapan yang legal dan berkelanjutan.
Tantangan Implementasi
Tentu saja, adopsi blockchain dan digitalisasi perikanan tidak lepas dari tantangan. Keterbatasan infrastruktur digital di wilayah pesisir, literasi teknologi yang rendah di kalangan nelayan, hingga potensi resistensi dari pelaku usaha besar adalah kendala nyata. Namun, semua ini dapat diatasi melalui program edukasi digital, insentif adopsi teknologi, serta dukungan regulasi yang kuat.
Penutup
Sebagai akademisi dan praktisi maritime informatics, saya memandang kebijakan Penangkapan Ikan Terukur berbasis blue economy yang diperkaya dengan teknologi blockchain adalah momentum emas bagi Indonesia.
Jika dikelola dengan visi jangka panjang, kita tidak hanya akan meningkatkan PNBP, tetapi juga menjaga kelestarian sumber daya ikan, melindungi ekosistem laut, menyejahterakan nelayan, dan menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Dengan kata lain, inilah saatnya pemerintah berani mengintegrasikan sains, teknologi, dan keadilan sosial ke dalam tata kelola perikanan. PIT berbasis blockchain bukan sekadar kebijakan teknis, tetapi sebuah inovasi nasional untuk memastikan laut Indonesia tetap kaya, nelayan tetap sejahtera, dan negara tetap berdaulat dalam ekonomi biru global.
Penulis, Dr. Hozairi, Doktor Maritime Informatics, Universitas Islam Madura.
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.
