CERPEN–
“Aduh alek seratin manis
Begus anggohu tengka gulina
Membuat aku jatuh cinta.”
Jadwal waktu karaokenya telah tiba. Suara Santoso melengking pahit ke udara pada suatu siang yang panas. Pantatnya yang terbungkus oleh serung bermerek mangga itu duduk tegap di atas kursi. Matanya fokus melihat layar lima 5 inch. Muka bulatnya berhadap-hadapan dengan tongsis alias tongkat narsis berisi HP. Kali ini ia membawakan satu buah lagu dari Yus Yunus. Judulnya Sapu Tangan Merah.
“Saputangan merah tanda mata dari thika
Sebagai penawar rindu pada dirimu
Walau engkau jauh ada di kota Jakarta
Namun terasa dekat dari Madura.”
“Beli,” suara dari seorang pembeli berdering pelan dari luar warung Madura itu.
“Ho … ho … ho …Waktu kau berdarma wisata
Aku perkenalkan bahasa
Kau bilang banyak kesenian di pulau Madura
Dan pantai Lombongnya berpagar pohon cemara.”
Santoso tetap fokus dan khidmat bernyanyi. Sesekali matanya terpejam. Nampaknya ia meresapi alunan dangdut lawas. Kepalanya bergoyang-goyang pelan. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, San?
“Beli,” kedua kalinya suara pembeli berjenis kelamin laki-laki itu sedikit lebih nyaring.
“Saputangan merah tanda mata dari thika
Sebagai penawar rindu pada dirimu.”
“Beliiiiiik,” teriak lantang pembeli yang kesabarannya sudah setipis tisu itu. Matanya melotot. Bibirnya monyong ke depan.
Santoso terperanjat dari kursinya. Konsernya tersebut pun langsung ia hentikan seketika. Bibirnya pura-pura menebar senyum.
“Beli apa?” tanya Santoso.
“Minyak goreng satu liter.”
“Apa lagi?” tanya Santoso.
“Enggak ada.”
“Enggak mau nambah rokoknya,” tanya Santoso lagi.
“Enggak.”
“Enggak mau nambah samponya,” tanya Santoso ngotot.
“Enggakkkk.”
“Kalau jualan harus fokus. Jangan ditinggal karaoke. Pembeli adalah raja. Harus dilayani dengan baik,” protes sang pembeli.
“Memang sejak kapan ada raja beli minyak goreng?” jawab Santoso dengan logat Maduranya.
***
Terhitung sudah lima bulan tiga hari Santoso bekerja sebagai penjaga warung Madura milik kerabatnya yang berada di Jakarta Utara tersebut. Meski kategori karyawan baru, ia layaknya hewan iguana laut, cepat beradaptasi dengan lingkungan manapun. Tak heran, ia lekas akrab dengan para pembeli.
Santoso juga disukai oleh warga setempat. Selain karena lugu dan hobi karaoke dangdut lawas, ia dikenal dan dipercaya sosok yang jujur serta semangat dalam bekerja. Bagi Santoso, kejujuran adalah hal utama. Tak bisa diperjualbelikan. Integritas tertancap dalam di hatinya. Dan ia sudah bersumpah pada dirinya sendiri, bahwa nilai suci itu akan terus dia bawa sampai tubuhnya berada ke liang lahat.
Sebelum bekerja di warung Madura milik kerabatnya, ia sempat menjadi pengangguran selama tiga bulan. Hatinya resah, sebab laki-laki pengangguran adalah aib di kampungnya.
Sebelum memilih menjadi pengangguran terhormat itu, ia adalah seorang pensiunan parkir liar di salah satu minimarket di Surabaya. Ia memilih pensiun dini dari profesinya tersebut, lalu taubatan nasuha dari pekerjaan yang mengakibatkan masyarakat se-Tanah Air murka itu.
Jalan tobat itu diambil setelah Emak-nya mengetahui bahwa Santoso ternyata adalah seorang pekerja parkir ilegal. Awalnya, ia mengaku pada Emak dan keluarganya berprofesi sebagai entrepreneur, alias jual beli dibidang besi tua di Kota Pahlawan.
“Berhenti jadi tukang parkir, San. Tidak berkah. Itu bukan pekerjaan yang baik. Hanya memancing kemarahan orang. Motor dan mobil mereka tidak butuh jasa menjagaan dari dirimu, San,” kata Emak-nya saat menelepon Santoso disuatu sore.
“Kalau besok tak berhenti, jangan harap kau bisa pulang ke rumah. Titik,” tegas Emak-nya itu.
Setelah mendengar siraman rohani sekaligus ancaman dari Emak-nya, dua hari setelahnya Santoso pulang ke kampungnya. Rombi kesayangannya berwarna oranye bertuliskan PETUGAS PARKIR miliknya diwariskan kepada sahabatnya. Sahabat yang sudah dilatihnya secara profesional bagaimana cara meniup peluit yang nyaring tapi elegan dan bagaimana cara memegang behel motor dengan tepat tanpa membuat sang pemilik tersinggung.
“Cukup minta dua ribu setiap kendaraan. Kalau dikasih lebih, itu rezekimu, Mad” nasehat penting Santoso pada sahabatnya, yang sesama orang Madura itu. (*)
Penulis:Moh Ramli. Lahir di Sumenep, Madura, 09-09-1996. S1 Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (UNIPDU) Jombang, dan S2 di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta. Beberapa karya bukunya yang sudah terbit antara lain: Melawan Kebodohan (Catatan Anak Pulau (2018). Kedua: Dia Bukan Bahria (2019). Ketiga: Merawat Akal Sehat (2019), Mentalitas Madura (2020). Keempat: Temaram Telah Usai (2020), dan terbaru Tragedi Demokrasi (2024).