OPINI-Pergantian kabinet selalu memicu perdebatan besar di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Sebelumnya kebijakan ganti menteri, ganti kurikulum sering menjadi sorotan dan perbincangan hangat di kalangan praktisi dan pemerhati pendidikan. Namun, situasi saat ini, dengan penerapan Kurikulum Merdeka dan integrasi teknologi seperti deep learning, menawarkan perspektif yang berbeda.
Diskusi kini bergeser pada bagaimana mengoptimalkan Kurikulum Merdeka dan memanfaatkan deep learning untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan lagi pada pergantian kurikulum itu sendiri.
Sorotan baru dalam dunia pendidikan: deep learning. Bukan kurikulum baru, tetapi pendekatan revolusioner yang menempatkan siswa di jantung proses belajar, menekankan pemahaman mendalam dan bermakna.
Deep learning menawarkan pendekatan pembelajaran yang lebih terfokus, menekankan pemahaman konseptual mendalam, bukan sekadar penyelesaian tugas. Pembelajaran menjadi lebih kontekstual dan bermakna karena siswa di dorong menghubungkan materi dengan pengalaman hidup mereka.
Usulan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, untuk mengadopsi “deep learning” sebagai pendekatan pendidikan baru di Indonesia telah memicu diskusi menarik. Penelitian Gufron dkk. (2024) menunjukkan bahwa alih-alih menggantikan kurikulum yang ada, deep learning justru memperkuatnya. Ini berarti bukan revolusi kurikulum, tetapi evolusi pedagogis.
Deep learning, bukan sekadar metode pengajaran baru seperti yang ditekankan Rahiem H. (2025), melainkan transformasi cara belajar yang menekankan pemahaman konseptual yang mendalam, keterampilan berpikir kritis, dan kemampuan menerapkan pengetahuan dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Kurikulum Merdeka, dengan janjinya akan pembelajaran yang personal dan bermakna, menawarkan orkestrasi pendidikan yang baru. Namun, akan seperti apakah simfoninya? Akankah deep learning teknologi pembelajaran canggih yang mampu mempersonalisasi pengalaman belajar, menjadi konduktor yang harmonis atau justru sirine peringatan akan potensi disonansi?
Bayangkan sebuah kelas ideal di era Kurikulum Merdeka. Setiap siswa memiliki ritme belajarnya sendiri, dipandu oleh algoritma deep learning yang cermat. Sistem ini bukan sekadar memberikan materi tetapi juga mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan masing-masing siswa menyesuaikan tingkat kesulitan dan menawarkan umpan balik yang tepat sasaran.
Guru bebas dari tugas administratif yang membosankan berperan sebagai fasilitator, mentor, dan pembimbing yang penuh empati. Ini adalah harmoni yang diidamkan: efisiensi, personalization, dan pembelajaran yang bermakna. Keterampilan abad ke-21, seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi, terpupuk dengan optimal. Namun, realitas seringkali lebih kompleks dari sebuah simfoni.
Indonesia masih bergulat dengan kesenjangan digital yang masih minim. Akses internet yang tidak merata, keterbatasan perangkat keras, dan kesiapan guru yang beragam menciptakan disonansi yang nyata. Implementasi deep learning yang tidak merata akan memperparah ketimpangan pendidikan. Bayangkan, siswa di perkotaan menikmati personalisasi pembelajaran, sementara rekan-rekan mereka di daerah terpencil masih berjuang dengan akses pendidikan dasar. Ini adalah sirine peringatan yang keras.
Lebih dari itu, pertanyaan etika dan privasi data menjadi sangat penting. Penggunaan data siswa untuk personalisasi pembelajaran harus dijamin keamanannya dan dilindungi dari penyalahgunaan. Transparansi dan persetujuan orang tua menjadi mutlak.
Kita tidak boleh mengorbankan privasi demi efisiensi. Potensi deep learning untuk menyelaraskan dengan Kurikulum Merdeka sangat besar. Namun, kesuksesannya bergantung pada kesiapan infrastruktur, peningkatan kompetensi guru dan perhatian serius terhadap isu etika dan privasi data.
Tanpa perencanaan yang matang dan komprehensif, deep learning berpotensi menjadi sirine peringatan bukan konduktor harmoni. Kita perlu memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk memperkuat bukan menggantikan sentuhan manusia dalam pendidikan. Hanya dengan demikian kita dapat menciptakan simfoni pendidikan yang sesungguhnya indah, inklusif, dan berkelanjutan.
Kurikulum Merdeka menawarkan fleksibilitas, dan deep learning menunjukkan cara optimal memanfaatkannya. Penerapan yang tepat akan meningkatkan kualitas pendidikan dan mencetak siswa yang percaya diri, kreatif, dan siap menghadapi masa depan.
Dalam konteks tersebut, saya beropini bahwa sinergi antara Kurikulum Merdeka dan teknologi deep learning bukan hanya sebuah kemewahan, tapi sebuah keharusan untuk menjawab tantangan pendidikan abad ke-21 di Indonesia.
Kurikulum Merdeka yang mengedepankan personalisasi dan fleksibilitas dalam belajar sangat relevan untuk diaplikasikan bersama teknologi deep learning yang mampu memberikan pengalaman belajar yang adaptif sesuai kebutuhan tiap siswa. Namun, keberhasilan integrasi ini sangat bergantung pada kesiapan sistem pendidikan secara menyeluruh, mulai dari infrastruktur digital yang merata hingga peningkatan kapasitas guru sebagai penggerak utama proses belajar-mengajar.
Guru tidak sekadar menjadi pengawas atau pemberi materi melainkan fasilitator yang mampu memanfaatkan data dan teknologi untuk mengembangkan potensi setiap siswa dengan pendekatan yang humanis dan kontekstual.
Maka dari itu, langkah demi langkah implementasi harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar pendidikan sejati.
Penulis: Rohaili
Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam IAI AL Khairat Pamekasan
Tulisan opini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak termasuk tanggung jawab redaksi Koran Times.
Rubrik opini di koran Times terbuka untuk umum. Panjang tulisan maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
Harap sertakan riwayat hidup singkat, foto diri, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Kirimkan tulisan ke email: timeskoran@gmail.com
Redaksi berhak untuk tidak menayangkan opini yang dikirimkan.
